Gerbang Maqâshid

Kitab Maqashid al-Syariat Dalil lil Mubtadiin karya Jaseer 'Audah

Seringkali kita mendapati anak kecil yang bertanya suatu hal yang kalau ditelisik lebih dalam, pertanyaan tersebut mengandung unsur falsafi, entah memang karena ia pernah mendapat pengetahuan sebelumnya atau memang muncul secara kebetulan. Contohnya seorang anak kecil bertanya kepada ayahnya, "Mengapa kita berhenti ketika lampu merah, Yah?" lalu sang ayah menjawabnya dengan lembut, "Agar tidak ditilang polisi, Nak". Si anak bertanya lagi, "Ayah, mengapa polisi menilang orang-orang yang melanggar perturan?" sang ayah menjawabnya, "Karena menerobos lampu merah itu berbahaya".

"Mengapa berbahaya, Yah?" tanyanya lagi masih belum puas. Kemudian sang ayah menjawabnya dengan sabar, "Karena menyakiti orang lain itu tidak dibenarkan. Apakah kamu mau disakiti? Begitulah manusia, tidak ingin tersakiti. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, 'Cintailah manusia selayaknya kamu mencintai dirimu sendiri!'" "Mengapa demikian, Yah?" penasarannya belum selesai jua. "Karena Allah SWT itu Maha Adil. Salah satu buktinya adalah menjadikan seluruh manusia itu sama dan memilki hak setara. Allah SWT menciptakan makhluk atas dasar keadilan".

Rentetan pertanyaan "mengapa" anak kecil tadi mengantarkannya untuk mengetahui tujuan utama dibalik berhenti saat lampu merah. Begitupula maqâshid syarî'ah, rentetan pernyataan "mengapa" yang mengantarkan kita untuk mengetahui hikmah dan tujuan dibalik disyariatkannya hukum-hukum Islam yang berlaku.

Maqâshid disini sangat erat kaitannya dengan maslahat, hingga sebagian ulama menganggapnya sama; karena yang disyariatkan itu pasti di dalamnya terdapat kesejahteraan untuk manusia.

Selanjutnya, ulama terdahulu membagi maqâshid menjadi tiga bagian secara umum: dharûriyyât (primer), hâjiyyât (sekunder), tahsîniyyât (tersier). Termasuk dharûriyyât antara lain: hifdz ad-dîn (menjaga agama), hifdz an-nafs (menjaga jiwa), hifdz al-mâl (menjaga harta), hifdz al-'aql (menjaga akal), dan hifdz an-nasl (menjaga generasi), ada juga yang menambahkan hifdz al -'irdh (menjaga harga diri). Sedangkan yang dimaksud dengan hâjiyyât yaitu kebutuhan pelengkap saja tetapi berakibat fatal jika ditinggalkan sepenuhnya seperti pernikahan. Ia hanya kebutuhan pelengkap bukan kebutuhan utama manusia. Jika hanya satu orang yang memilih untuk tidak menikah tentu saja tidak berpengaruh apa-apa, akan tetapi jika yang memilih keputusan tersebut adalah orang banyak maka akan berakibat tidak adanya regenerasi yang kemudian berakibat pada punahnya manusia.

Bagian selanjutnya adalah tahsîniyyât, yaitu untuk penghias saja. Seperti baju yang indah dan rumah yang mewah, itu semua bukan kebutuhan pokok dan tidak berpengaruh apa-apa meski ditinggalkan sepenuhnya.

Kemudian demi melestarikan fan ilmu ini, maka para ulama modern terus mengembangkan pemikiran-pemikiran ulama salaf, yakni dengan membagi maqâshid menjadi tiga bagian: ‘âmmah (umum), khâssah (khusus), dan juz'iyyâh (parsial). Disebut umum ketika yang diperhatikan adalah seluruh aspek di dalam syariat. Disebut khusus ketika yang diperhatikan hanya satu sisi atau sebagian aspek saja seperti syariat kesejahteraan dalam membesarkan dan mendidik anak yang merupakan aspek syariat dalam hukum keluarga saja. Sedangkan parsial yakni ketika yang dipertimbangkan adalah alasan dan tujuan seperti tujuan peringanan syariat puasa bagi orang yang sakit sehingga diperbolehkan berbuka.

Tentu saja pengembangan pemikiran-pemikiran maqâshid adalah agar dapat memperluas lingkup pembahasan guna menjawab kasus-kasus terbaru serta mewujudkan dan menyadarkan hak-hak manusia serta kemuliannya.

Redaktur: Malikah Balqis
Editor: Abda Rifqi
Lebih baru Lebih lama