Implementasi Maqâshid Syarî'ah dalam Ijtihad

Implementasi Maqasid Syariah dalam Ijtihad

Setelah sebelumnya membahas mengenai pembagian maqâshid syarî'ah baik pembagian secara tradisionalis yang dilakukan oleh ulama salaf ataupun modernis yang dilakukan oleh ulama kontemporer, kali ini kita akan membahas mengenai ijtihad sahabat nabi yang di dalamnya kental akan unsur dan nuansa maqâshid.

Sejarah intelektual dalam mencari tujuan dibalik perintah Al-Qur'an dan hadis merujuk dan kembali ke masa sahabat, hal ini terefleksi melalui hadis tentang salat Asar di Bani Quraidhah yang mana dalam hadis tersebut nabi memerintahkan para sahabatnya untuk pergi ke Bani Quraidhah seraya berpesan agar mereka tidak melakukan salat Asar sebelum mereka sampai ke Bani Quraidhah, para sahabat pun berbeda-beda dalam merespon dan menginterpretasikan perintah nabi tersebut, sehingga mereka terpecah menjadi 2 golongan yang keduanya memiliki hujahnya masing-masing saat waktu salat Asar hampir habis sementara mereka belum sampai ke Bani Quraidhah.

Kelompok pertama memilih untuk kekeh tidak melaksanakan salat sebelum sampai ke Bani Quraidhah walaupun penundaan tersebut sampai waktu salat sudah terlewat. Mereka beralasan bahwa perintah nabi sudah jelas, yakni agar tidak melakukan salat Asar kecuali jika sudah tiba di Bani Quraidhah. Kelompok kedua memiliki pandangan dari sisi maqâshid Syarî'ah yang berbeda, mereka memilih untuk tetap salat tepat waktu meskipun belum sampai ke Bani Quraidhah. Hal yang melandasi pilihan kelompok kedua adalah mereka menganggap bahwa tujuan nabi ketika memberikan perintah tersebut adalah agar mereka mempercepat langkah kaki saat menuju Bani Quraidhah, bukan perintah penundaan waktu salat sampai habis waktunya.

Pada akhirnya, saat menanggapi hal ini nabi tidak mencela salah satu dari kedua kelompok tersebut, yang mana diamnya nabi terhadap dua kelompok tersebut mengindikasikan pembolehan dua arah pemahaman masing-masing kelompok sebagaimana yang dikenal di kalangan fukaha. Ibnu Hazm Adh-Dhohiri yang merupakan fakih agung tidak menyetujui kelompok kedua, ia berkata bahwa mereka memiliki keharusan untuk menunggu dan tidak menunaikan salat Asar sampai tiba di Bani Quraidhah walaupun mereka tidak menunaikan salat tersebut sampai tengah malam karena ini adalah yang diperintahkan oleh nabi.

Contoh lainnya adalah keputusan Sayidina Umar untuk memasukkan kuda yang dikecualikan oleh nabi dalam suatu hadis ke dalam komoditas yang wajib dizakati, alasan keputusan tersebut adalah melambungnya harga kuda pada zaman Sayidina Umar hingga harganya melebihi harga unta yang dimasukkan nabi ke dalam komoditas yang wajib dizakati. Sayidina Umar memahami bahwa esensi zakat adalah bentuk bantuan sosial yang berwujud penyerahan zakat oleh orang yang kaya kepada orang yang miskin tanpa memandang format komoditas sebatas yang disebutkan pada hadis zakat.

Hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa seluruh mazhab fikih selain mazhab Hanafi menentang perluasan harta yang tercakup oleh zakat. Hal ini mengindikasikan cakupan ekspansi paham Adz-Dzahiri yang luas dalam memahami fikih tradisional. Ibnu Hazm menegaskan bahwa tidak ada zakat kecuali pada 8 jenis harta; emas, perak, gandum, jawawut, kurma, unta,  sapi, dan kambing seperti yang terdapat dalam hadis. Pemikiran seperti inilah yang meyebabkan lembaga zakat kehilangan peran efektifnya dalam merealisasikan kesetaraan dan solidaritas masyarakat yang dituju oleh zakat.

Berpedoman pada metodologi peninjauan terhadap prinsip yang terkandung dibalik hukum, Syekh Yusuf Al-Qaradawi menentang pendapat jumhur mengenai muatan zakat. Di dalam kitabnya yang berjudul Fiqh Az-Zakâh, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi berkata bahwa setiap harta yang berkembang termasuk komoditas zakat. Zakat disyariatkan untuk menutup kebutuhan orang miskin, orang bangkrut, pengembara, serta untuk menegakkan kepentingan umum seperti jihad, yang mana termasuk hal yang mustahil bahwa syariat berniat melempar beban tersebut pada orang yang memiliki lima unta, empat puluh kambing, atau 5 ton gandum akan tetapi malah mengabaikan mereka yang memiliki pabrik dan gedung besar yang penghasilannya dalam sehari setara dengan apa yang dihasilkan pemilik lima unta ataupun lima ton gandum dalam setahun.

Selain ulasan di atas, poin penting yang perlu digarisbawahi adalah melihat suatu nas serta membangun hukum berdasarkan maqâshid tidak bisa diterapkan pada seluruh hukum syariat, lebih-lebih terkait masalah ibadah. Menurut Imam Asy-Syathibi, asas dari syariat ibadah adalah penghambaan tanpa perlu memandang makna di balik ibadah tersebut, karena esensi ibadah tidak masuk pada ranah akal. Lain halnya dengan muamalah, yang mana asas dari muamalah adalah pertimbangan terhadap esensi/makna dari syariat muamalah tersebut hingga ada dalil yang melarang pertimbangan esensi syariat tersebut. Dari sinilah muncul kaidah umum yang mengatakan bahwa ibadah tetap berada dalam ranah yang statis, seorang muslim melaksanakan ibadah sebagaimana Rasulullah dan sahabat melaksanakannya. Sementara dalam muamalah, para sahabat mengajarkan kita agar tidak mengikuti nas secara tekstual, namun kita perlu mempertimbangkan dari segi maqâshid dalam penerapannya.

Teori dan pembagian maqâshid berkembang setelah masa sahabat, hanya saja maqâshid dengan format yang kita kenal sekarang tidak terwujud sampai tibanya para ushûliyyûn muta'akhirûn pada abad kelima sampai delapan Hijriah. Tapi yang harus kita perhatikan adalah sepanjang abad ketiga yang pertama telah ditemukan gagasan maqâshid walaupun dengan penyebutan yang berbeda seperti hikam, 'ilal, munâsabât, dll.

Maqâshid syarî'ah tidak muncul sebagai topik yang mandiri dan memiliki pembelajaran terpisah serta tidak menarik perhatian besar sampai akhir abad tiga Hijriah. Berikut ini adalah beberapa usaha yang prematur dalam pengembangan teori maqâshid antara abad tiga, empat, dan lima Hijriah;

1) At-Turmudzi Al-Hakim (wafat pada tahun 209H/908M). Kitabnya yang berjudul Ash-Shalâh wa Maqâshiduhâ dianggap sebagai kitab pertama yang khusus membahas tema maqâshid. Kitab ini menampilkan hikmah dan rahasia kerohanian dari setiap gerakan salat. Di samping itu, beliau juga mempunyai kitab yang serupa tentang haji yang berjudul Al-Hajj wa Asrâruh.

2) Abu Zaid Al-Balkhi (wafat pada tahun 322H/933M). Al-Ibânah an Ila Ad-Diyânah dianggap dan dikenal sebagai kitab pertama seputar maqâshid syarî'ah dalam ranah muamalah. Ia menampilkan dalam kitab tersebut maqâshid syarî'ah dibalik hukum-hukum syariat. ia juga menulis kitab lain yang berjudul Mashâlih Al-'Abd wa An-Nufûs yang menjelaskan bagaimana tingkah laku dan hukum islam berperan dalam memperbaiki kesehatan  jasmani dan rohani.

3) Ibnu Babwaih Al-Qummi (wafat pada tahun 381H/991M). Sebagian peneliti berpendapat bahwa pembahasan maqâshid syarî'ah itu terbatas pada mazhab-mazhab Sunni sampai abad 20. Akan tetapi pembahasan menyeluruh yang dikhususkan untuk membahas maqâshid syarî'ah nyatanya ditulis oleh seorang fakih yang bermazhab Syiah bernama Ibnu Babwaih As-Shadûq Al-Qummi pada abad 4 Hijriah. Ia menulis kitab yang terdiri dari 335 fasal tentang topik ini. Kitab tersebut berjudul 'Ilal Asy-Syarî'ah sebagai bentuk tafsiran yang rasional terhadap iman kepada Allah, nabi, dan beberapa keyakinan yang lain. Selain itu, ia juga menjelaskan sebab-sebab yang terkandung dibalik salat, puasa, haji, sedekah dll.

Redaktur: M. Hakam Baihaqi
Editor: Gelar Washolil Autho
Lebih baru Lebih lama