Rantai Nasab Maqâshid Abad Kelima sampai Kedelapan Hijriah

Rantai Nasab Maqashid Abad Kelima sampai Kedelapan Hijriah

Setelah banyak berbicara tentang keputusan-keputusan maqâshidi di masa para sahabat Rasulullah SAW, kita beranjak berbicara tentang konsepsi maqâshid pada abad kelima Hijriah yang dimulai dari Imam Al-Juwaini (w. 478 H/1085 M) sampai generasi Imam Asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M). Menurut Syekh Abdullah bin Bayyah, abad kelima Hijriah ini merupakan saksi lahirnya filsafat dalam konstitusi Islam; hal itu tergambar dalam banyak keputusan hukum yang tidak hanya terfokus pada harfiah ataupun lahiriah fatwa itu sendiri karena hal tersebut tidak menjawab persoalan-persoalan yang ada pada masa sebelumnya dan menjadi suatu hal yang problematik untuk dipertahankan. (Bincang Jasser 'Audah dengan Syekh Abdullah bin Bayyah di Makkah, April 2006.).

Pada abad kelima Hijriah konsep maqâshid belum terbentuk secara utuh, tetapi peran ulamanya pada masa ini harus diperhitungkan karena pada masa ini merupakan tonggak awal yang menginspirasi munculnya maqâshid sebagai suatu disiplin ilmu. Salah satu ulama yang berpengaruh pada masa ini adalah Imam Al-Juwaini. Beliau meletakkan konsep al-hâjah al-'âmmah (kepentingan universal) dan adh-dharûriyyât (perkara primer) yang tersurat dalam bukunya yang bertajuk Al-Burhân fi Ushûl Al-Fiqh. Konsep adh-dharûriyyât inilah yang kedepannya dikembangkan oleh muridnya, Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), lewat konsep tartîb adh-dharûrât yang mengakomodir adh-dharuriyyât (primer), al-hâjiyyât (sekunder), dan at-tahsîniyyât (tersier), yang mana masing-masing dari ketiga hal tersebut punya al-kulliyyât al-khams (hifzh ad-dîn, an-nafs, al-'aqlan-nasl dan al-mâl). Imam Al-Ghazali juga memperkenalkan term al-hifzh dalam konsep tartîb adh-dharûrât-nya.

Salah satu prakteknya adalah konstitusi keharaman setiap perkara yang memabukkan karena disamakan dengan keharaman khamar, dan maksud dari pengharaman khamar tadi adalah hifzh al-'aql (menjaga akal) yang merupakan objek taklif manusia. Jika ada pembiaran terhadap suatu hal yang tidak dibicarakan oleh syariat (seperti narkoba) padahal secara efek sama dengan atau bahkan lebih parah dari khamar, niscaya akan terjadi mafsadah yang berkelanjutan. Pada titik inilah ada namanya maslahat universal yang diperoleh dengan pengharaman setiap perkara yang memabukkan.

Pada masa selanjutnya ada Syekh Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H/1209 M) yang punya konsep al-hikmah min warâ' al-ahkâm (hikmah dibalik diberlakukannya hukum) yang tergambar dalam beberapa bukunya seperti Maqâshid Ash-Shalâh dan Maqâshid Ash-Shaum. Namun, karya beliau yang lebih berperan dalam pengembangan maqâshid adalah Qawâ'id Al-Ahkâm fi Mashâlih Al-Anâm. Selanjutnya ada Imam Al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) yang membedakan antara keputusan Rasulullah SAW ketika tablig dengan ketika imamah. Keputusan beliau ketika tablig seakan hanya menyampaikan hukum secara umum, berbeda dengan keputusan beliau ketika imamah yang bersifat mengikat; seperti contoh ketika mengutus tentara, alokasi dana baitulmal, pembagian rampasan perang, dan perjanjian diplomatik. Imam Al-Qarafi juga punya konsep fath adz-dzarî'ah yang merupakan tandingan dari sadd adz-dzarî'ah, sehingga tidak hanya terfokus pada penutupan peluang keburukan, tetapi juga harus siap membuka peluang ketika memang benar-benar ada kemaslahatan.

Kemudian beralih kepada Imam Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah (w. 748 H/1347 M) yang menentang haylah dalam beragama karena menurut beliau haylah tersebut bertentangan dengan maqâshid; beragama menurutnya harus berdasar al-hikmah dan mashlahah al-basyar. Selanjutnya ada Imam Abu Ishaq Asy-Syathibi (w. 790 H/1388 M) yang mengangkat apa yang telah diformulasikan oleh Imam Al-Juwaini dan Imam Al-Ghazâli berikut modifikasinya, yang terangkum setidaknya dalam tiga poin:

1. Dari Al-Mashâlih Al-Mursalah menuju Ushûl Asy-Syarî'ah

Beliau mengusung maqâshid sebagai asl tersendiri, di mana pada masa sebelumnya maqâshid merupakan bagian dari al-mashâlih al-mursalah yang merupakan asl tersendiri.

2. Dari Al-Hikmah min warâ' Al-Ahkâm menuju Qawâ'id Al-Ahkâm

Imam Asy-Syathibi menempatkan pengetahuan tentang maqâsid sebagai tolak ukur untuk keberhasilan suatu ijtihad, dimana pada masa sebelumnya maqâshid tidak menjadi pertimbangan dalam hukum-hukum parsial.

3. Dari Adh-Dhanniyyah menuju Al-Qath'iyyah

Lagi-lagi beliau mencoba memasukkan maqâshid sebagai asl dengan dalih qath'iy-nya sebuah istiqrâ' (penelitian) yang mana pada masa sebelumnya istiqrâ' hanya menempati klasmen dhannî.

Walaupun ketiga poin diatas kurang mendapatkan sambutan dari para ulama, tetapi setidaknya ada usaha untuk mengembangkan maqâshid lewat beberapa konsep yang sudah diusung tersebut.

Redaktur: M. Abda' Rifqi
Editor: Gelar Washolil Autho
Lebih baru Lebih lama