Peran Maqâshid dalam Pembaharuan Islam Modern

Peran Maqashid dalam Pembaharuan Islam Modern

Maqâshid asy-syarî'ah merupakan senjata ampuh untuk pembaharuan dalam tubuh Islam modern. Mengapa Islam memerlukan adanya pembaharuan? Karena banyak konten syariat yang perlu nafas segar supaya gampang diterima oleh umat Islam masa kini. Selain itu, gempuran dari kelompok postmodern (kelompok cendekiawan yang berfokus pada kritik nalar keilmuan) yang mayoritas berasal dari Barat terus menggempur Islam lewat nalar kritis mereka. Kelompok tersebut berdalih, bahwa upaya yang mereka lakukan merupakan revitalisasi pembentukan syariat (tasyrî'). Dalam hal itu, maqâshid asy-syarî'ah punya peran positif. Ia bagaikan falsafah tasyrî' yang berfokus pada upaya pembaharuan tersebut. Selain itu, kita juga akan membahas beberapa tema lain. Di antaranya, pemikiran Islam modern dalam penerapan maqâshid pada HAM dsb., maqâshid sebagai metode pembaharuan fikih Islam, urgensi maqâshid dalam pembaharuan pemahaman Al-Qur'an dan hadis, dan maqâshid sebagai titik temu antar mazhab, bahkan dalam dialog antar agama.

Salah satu ciri khas ulama kontemporer dalam sumbangsih keilmuan Islam adalah istilah-istilah kekinian hasil komparasi dari istilah ulama terdahulu. Sebagaimana istilah hifzh an-nasl (menjaga keturunan) yang pertama kali dikemukakan secara konsep oleh Al-'Amiri dalam Al-I'lâm. Kemudian di masa selanjutnya dipopulerkan oleh Al-Juwaini dan muridnya, Al-Ghazali, sebagai salah satu pondasi adh-dharûriyyât (konsep primer yang harus dipenuhi seorang muslim untuk kemaslahatan hidup). Selanjutnya ada Ibnu 'Asyur yang mencetuskan konsep shiyânah al-'âilah (menjaga keluarga). Yang mana istilah tersebut merupakan hasil improvisasi dari hifzh an-nasl. Lalu mengapa harus ada istilah baru kalau hanya hasil pengembangan istilah terdahulu?

Istilah-istilah yang dikemukakan oleh para ulama kontemporer merupakan istilah yang lebih mengakomodir tujuan dari maqâshid asy-syarî'ah karena titik fokusnya tidak terbatas pada per individu, melainkan sudah menjangkau masyarakat majemuk. Begitu juga istilah hifzh al-'irdh (menjaga harga diri) yang sekarang berkembang menjadi shiyânah al-karâmah al-insâniyyah (menjaga kehormatan manusia) atau hifzh huqûq al-insân (baca: hak asasi manusia). Nilai-nilai dalam HAM seperti hak hidup, toleransi, kebebasan beragama, dan lain-lain tentu sudah ada sejak awal-awal Islam. Namun, seringkali nilai-nilai luhur tersebut tidak tersampaikan karena belum menjadi suatu rumusan utuh yang bisa disebarkan kepada masyarakat luas. Akhirnya pada tahun 1981, para delegasi ulama dari berbagai penjuru dunia memproklamirkan HAM dengan nafas Islam lewat perantara UNESCO (Universitas Toronto, International Protection of Human Rights, 2005).

Selanjutnya maqâshid asy-syarî'ah juga menyasar tema perkembangan manusia yang sampai sekarang masih menjadi PR besar. Bagaimana tidak, banyak negara-negara mayoritas muslim yang masih berada di kategori berkembang. Hanya beberapa negara saja seperti Qatar, Brunei Darussalam, dan UEA yang termasuk negara maju. Klaim itu berdasar pada lebih dari 200 indeks seperti; buta huruf, tingkat pengangguran, ketersediaan air bersih, kuantitas pelajar perguruan tinggi, dan lain-lain. Oleh karena itu, merumuskan dan merealisasikan tujuan-tujan syariat dengan kacamata kontemporer menjadi sangat urgen. Demi mewujudkan kemaslahatan dan kebangkitan dunia Islam.

Redaktur: M. Abda' Rifqi
Editor: Gelar Washolil Autho
Lebih baru Lebih lama