Riuh

Riuh

Entah kenapa, di malam itu, mataku tak mau terpejam. Rasa kantuk enggan mampir. Aku terjaga di teras rumah yang luas dan hampa. Malam sangat sunyi-tenang. Makhluk-makhluk bumi pasti kelelahan hari ini.

Keheningan malam tiba-tiba pecah sebab desir ombak laut yang tak mau diam. Terus-terusan mengganggu pepohonan dan penghuninya yang ingin istirahat. Tapi, aku lebih kasihan pada karang dan pasir pantai yang entah sudah berapa kali tersentak kaget karenanya.

"Hmm, kalau dipikir-pikir, ternyata aku bermanfaat besar ya bagi manusia," ucap Laut. "Lihatlah, bahkan pada kelangsungan hidup mereka, aku sangat berperan penting. Betapa luas dan dalamnya aku. Aku tak punya rasa kenyang. Semua hal bisa saja kulahap jika kumau. Bahkan, manusia-manusia itu percaya jika aku mampu menelan Mentari dan Rembulan setiap hari. Sungguh luar biasa diriku."

Melihat laut yang mulai membual, langit mulai gemas. "Bagaimana juga, kau tetaplah rendah, berada di naunganku," balas Langit. "Apasih yang kau kandung dalam dirimu? Ikan ikan? Kuda laut? atau bahkan kapal karam? Sungguh serakah! Kau tak tahu bagaimana rasanya merawat Gemintang, Rembulan, dan Mentari, agar mereka bisa tetap rukun. Bisa kau bayangkan bagaimana jika aku lalai, hingga mereka akhirnya bertengkar berebut tempat agar nampak istimewa di mata manusia."

"Apalagi, aku adalah tempat digantungkannya mimpi mimpi yang lupa diambil kembali oleh pemiliknya. Bahkan, mimpi-mimpi itu sampai lupa pada tuannya. Siapa yang berani menjamin, jika mereka jatuh saat meraih mimpi. Mereka akan terjatuh di antara bintang-bintang, kalau bukan aku?”

Tanah tetiba terbangun. Sepertinya ia terganggu dengan kebisingan mereka “Omong kosong apa ini?” tanya Langit. “Kau ini hanya penitipan hal khayalan, fana, abstrak. Apa yang pantas dibanggakan dari situ? Bagaimana pun, manusia manusia itu tetap saja akan jatuh padaku. Siapa yang kan bersukarela menerima mereka jatuh, kalau bukan aku? Lagipula, bahan pangan untuk kelangsungan hidup mereka juga tumbuh karenaku.”

“Bahkan, aku kerap menyelamatkan hidup mereka. Tak jarang kubiarkan mereka memendam dalam aib, dan masa lalu mereka padaku,” sambung tanah. “Dasar sekongkol pembunuh berantai!” Laut memecah ombaknya pada karang, saking geramnya. “Aku tidak melibatkan diri. Mereka yang melibatkanku” jawab tanah dengan santai.

Tanpa sadar, segerombolan hewan telah menatapnya kesal. “Hei, Bung, bagaimana dengan kami?” kancil buka suara. “Kau pikir, kami diciptakan untuk apa? Lahir, tumbuh, lalu menjadi hidangan lezat manusia? Atau mati membangkai dan dimakan oleh spesies kami sendiri? Lalu apalagi? Menjadi nisbah sifat biadab manusia? Ingatkah kau, sudah berapa abad cerita ‘Kancil Mencuri Timun Pak Tani’ menyebar, menjadikanku sosok yang tak patut ditiru? Bagaimana dengan hewan lain? Jangan pemalas seperti Sapi, jangan menjadi pintar menipu sepertiku, jangan menjadi pengganggu seperti Nyamuk, atau bernafsu besar seperti Anjing, dan bagaimana nasib Babi yang citra nya terlanjur buruk di bumi dan langit? Marilah kita beradu nasib!” Kancil sepertinya mulai kesal.

Jalan Setapak, Jalan Bebatuan, Jalan Raya, Jalan Tol, dan seluruh Jalan lainnya terpancing mendengar mereka. “Hei-hei, diamlah. Dengarkan kami!” Jalan Raya angkat bicara. “Kami ini, media paling penting bagi mereka. Manusia-manusia itu, berpindah pindah tempat melalui kami. Apa yang menakjubkan? Kami adalah filosofi terpenting dalam hidup mereka. Kehidupan selalu tentang perjalanan. Jalan. Jalan. Jalan. Lagi lagi jalan”

“Kami telah terukir kuat di hati mereka. Bahkan, beberapa dari mereka menyembah kami, di hatinya. Merasa takut, dan terus berharap agar kami tak membawa mereka ke tujuan yang salah dan sesat” lanjut Jalan Raya.

Angin mulai bertiup sepoi “Sudah, jangan berisik. Nanti ada yang marah!” Tapi tetap saja, mereka masih asik berdebat soal eksistensi masing-masing.

Angin menaikkan ritme tiupannya. Namun, mereka tak menggubrisnya. Hingga Angin menjelma topan, mencabut satu-dua pohon dari akarnya. Perdebatan berhenti sejenak, sebelum akhirnya tetap berlanjut.

Tak berselang lama, hujan deras turun. Dihiasi haililintar yang terus bergemuruh. Diselimuti angin yang semakin tak terkendali tiupannya.

Terjadi badai. Seakan hujan, halilintar, dan angin itu punya kehendak sendiri. Tak hentinya mereka menggempur penghuni bumi.

“Sampai kapan kalian begini..!?” bentak Halilintar

“Dasar Egois..!” teriak Hujan dari balik rintiknya

“Sibuk beradu soal omong kosong..!” amuk angin

“Apa artinya dirimu, tanpa kumpulan air, hei, Laut.?!” desak Halilintar

“Masih betahkah manusia memandangimu, tanpa ada bintang, bulan dan matahari, hei, Langit?!” Hujan memojokkannya.

“Kau hanya sekongkolan kriminal tanpa benih-benih tumbuhan, hei, Tanah!” sentak Angin.

“Kalian tak pernah ingat, jika beberapa dari kalian sangat dimuliakan manusia, hei, binatang?!” tuding Hujan.

“Kalian diciptakan manusia! Makhluk bodoh mana yang menyembah ciptaanya, hei, Jalanan..?!” Angin menyudutkan.

“Dan kau, Manusia!” Halilintar menunjukku “bukan berarti keserakahanmu bisa menjadi senjata untuk menundukkan kami!”

Aku terpaku. Perlahan, badai mulai reda, langit kembali cerah, dan mentari mulai mengintip dari kejauhan. Aku yang masih bisu, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi semalam. Saat kulihat orang-orang mulai beraktivitas, aku semakin heran. Bahkan, di tengah badai sedahsyat itu mereka masih bisa tertidur pulas? Sungguh tak acuhya mereka.

Sidoarjo, 10 Desember 2021

Redaktur: Rafa Darrell
Editor: Gelar Washolil Autho
Lebih baru Lebih lama