Maqâshid Sebagai Fondasi dalam Berijtihad di Masa Kini

Maqashid Sebagai Pondasi dalam Berijtihad di Masa Kini

Kontradiksi antar dalil bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dicari jalan tengah (at-taufîq bain ad-dalilain). Kontradiksi antar dalil tersebut menghasilkan hukum yang kontradiksi pula. Namun, hal tersebut bukanlah hal yang harus diperdebatkan dengan sengit, karena sejatinya pertentangan tersebut hanya berasal dari prasangka mujtahid, bukan dari hakikat dalil itu sendiri. Seorang mujtahid dalam beberapa hal sangat mungkin tidak menemukan data tentang penanggalan antar hadis yang kelihatan saling kontradiksi, mereka tidak tahu mana yang disabdakan Rasulullah SAW terdahulu dan mana yang belakangan. Oleh karena itu, dibutuhkanlah peran maqâshid untuk menyikapi dalil-dalil yang sekilas terlihat bertentangan.

Dalam literatur Islam primordial (masa Rasulullah SAW dan para sahabat), tidak ada diksi naskh secara gamblang yang berarti mengangkat atau mengganti dalam konteks persinggungan antar dalil. Kalaupun ada secara praktek, kuantitasnya tidak sebanyak yang dikemukakan pada generasi tabiin, dan tentu hal ini menjadi sebuah tanda tanya besar. Sebagaimana kaidah para ahli ushûl fiqh bahwa mendayagunakan dua dalil lebih baik daripada mengabaikan salah satunya. Persinggungan antar dalil lebih disikapi sebagai upaya maqâshid dalam—pertamapenyelesaian perbedaan pelaksanaan ibadah, maqâshid berperan mempermudah, karena perbedaan tersebut menunjukkan fleksibelitas pelaksanaan suatu ibadah. Misal dalam ranah penetapan awal bulan Hijriah. Setidaknya ada dua kelompok yang saling bersinggungan, kelompok hisab dan rukyat. Kelompok rukyat didukung dengan hadis sahih yang tentu sudah legal dalam syariat. Namun, belakangan para ulama kontemporer berpendapat bahwasanya penetapan bulan Hijriah bisa menggunakan metode hisab saja, karena dirasa lebih akurat. 

Kedua, maqâshid juga berperan sebagai âlamiyah asy-syarî’ah (universalitas syariat) dalam menyikapi hal-hal yang berhubungan dengan adat dan kebiasaan (‘urf), sehingga dapat melihat sebuah perbedaan hukum sebagai bentuk penyesuaian dengan adat sekitar. Misalnya dalam batasan aurat perempuan di luar salat dalam Mazhab Hanafi. Pada masa sang Imam, para wanita Kufah banyak yang bekerja di sektor kuli, yang memungkinkan bagian lengan sering tersingkap. Akhirnya muncul keringanan tentang kebolehan sedikit tersingkapnya tangan ketika bekerja. 

Ketiga, maqâshid menyikapi dalil-dalil yang hukumnya di-naskh sebagai bentuk mempermudah perubahan hukum (tashîl at-taghyîr) terhadap adat yang keliru hingga membutuhkan proses bertahap dalam pengalihan hukumnya. Misal dalam proses pengharaman khamar secara bertahap.

Keempat, seringkali kita temui beberapa hadis yang memberikan hukum berbeda terhadap dua fenomena yang mirip. Padahal jika kita teliti lebih lanjut, keadaan objek hukumnya berbeda-beda, maka di sinilah peran maqâshid sebagai tahsîl aqshâ al-maslahah (menghasilkan kemaslahatan yang paripurna) agar memberi sebuah hukum sesuai dengan keadaan yang terjadi.

Salah satu contoh dalam kasus pertentangan dalil dalam bab ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud bahwa Rasulullah SAW memberikan hak asuh kepada seorang ibu selama ia belum menikah lagi dengan orang lain, padahal dalam hadis lain disebutkan kisah Sayidah Ummu Salamah RA yang tetap mendapatkan hak asuh atas anaknya, bahkan setelah menikah dengan Rasulullah SAW. Tentu saja kedua hadis ini menimbulkan perdebatan di kalangan para ulama. Sebagian besar mazhab berpijak kepada hadis yang pertama, yaitu hak asuh oleh ibu. Sedangkan sebagian ulama lain berpijak kepada hadis yang kedua, dan Ibnu Hazim salah satunya karena meragukan daya hafal salah satu perawi hadis yang pertama. Lantas bagaimana maqâshid menyikapi kasus ini?

Jika kita teliti lebih dalam, sebenarnya kedua hadis ini mengantarkan kita kepada dua keadaan yang berbeda sehingga cara menyikapinya juga berbeda. Dalam kacamata maqâshid yang selalu mengedapankan kemaslahatan, dapat diambil kesimpulan bahwa hak asuh itu tergantung kemaslahatan anak. Jika ibu bisa lebih bertanggung jawab dalam pengasuhan dan lebih bermanfaat untuk anak, maka ibu yang lebih berhak, begitu pun sebaliknya. Jadi sejatinya kedua hadis diatas tidak bertentangan, hanya saja berbeda latar keadaan sehingga berbeda pula hukum yang dikeluarkan. Berdasarkan contoh diatas, maka tidak salah jika menyebut maqâshid sebagai fondasi berijtihad di masa kini agar terwujud syariat Islam yang membawa keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh umatnya.

Redaktur: Malikah Balqis
Editor: M. Abda' Rifqi
Lebih baru Lebih lama