Miskonsepsi Pemaknaan Zuhud

Miskonsepsi Pemaknaan Zuhud

Menurut Sayid Bakar Al-Makki dalam Syarah Kifâyah Al-Atqiya’ wa Minhâj Al-Ashfiyâ’ atas Nazham Hidâyah Al-Adzkiyâ’ ilâ Tharîq Al-Awliyah, zuhud adalah “faqdu ‘alâqath al-qalbi bi al-ma’âli wa laisa huwa faqd al-mâl” (hilangnya rasa ketergantungan hati terhadap duniawi, bukan kehilangan harta). Sehingga zuhud bukan berarti kita melepas semua urusan duniawi, dan fokus megurus ukhrawi. Melainkan bagaimana kita memutus ketergantungan hati terhadap perkara duniawi.

Belakangan ini, banyak yang beranggapan, bahwa tasawuf tak lagi relevan dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Mengingat zuhud salah satu tingkatan penting dalam tasawuf untuk mencapai tingkatan kulminasi. Ia dinilai dapat memengaruhi pengikutnya untuk memaksimalkan ibadah tanpa menghiraukan urusan dunia.

Fenomena di atas menjadikan zuhud terkesan memiliki sumbangsih dalam menyuburkan sikap acuh terhadap pelbagai problematika kehidupan sosial. Lebih memilih fokus dan tenang dalam menempuh ritual agama ketimbang menghentikan kezaliman yang merajalela. Sikap ini tentu sangat kontrakdiktif dengan ajaran Islam amar makruf nahi mungkar.

Padahal, tidak sedikit teks Al-Qur'an dan hadis yang memerintahkan kita agar menyeimbangkan antara kehidupan dunia dan ibadah sebagai bekal kehidupan akhirat. Dalam suatu riwayat dikatakan, bahwa Rasulullah SAW mengomentari ibadah Abdullah bin Amr Al-Ash yang dinilai berlebihan. Abdullah bin Amr menghabiskan waktu malam untuk salat dan siang hari untuk berpuasa. Namun, habituasi itu melalaikannya untuk memberikan hak kepada tubuhnya untuk beristirahat.    

Jika laku zuhud dimaknai seperti menyiksa diri, meninggalkan bekerja, dan menampakkan kesengsaraan, ia akan menjadi benalu dalam tubuh Islam. Bagaimana tidak? Dalam Islam, terdapat beberapa ritual ibadah yang praktiknya tidak hanya berbentuk penghambaan makhluk pada sang Khalik belaka. Tetapi, juga ada ibadah yang membutuhkan biaya−seperti haji dan zakat.

Seandainya semua umat Islam mengintepretasikan zuhud dengan paham di atas, tentu finansial yang mereka siapkan hanya untuk kebutuhan primer saja. Tidak memiliki simpanan dana jangka panjang. Alhasil, keinginan menempuh ibadah ke Baitullah tak terlaksana sebab terkendala biaya. Padahal, ritual haji tak hanya untuk pemuasan kebutuhan rohani pribadi, tetapi juga memberikan andil pada pelestarian eksistensi agama.

Sebagaimana kita ketahui bersama, Islam merupakan agama dengan jumlah penganut terbesar di dunia. Meskipun berada pada urutan kedua, Islam mampu mengepakkan sayap popularitasnya di atas Kristen sebagai agama terbesar nomor wahid. Kita dapat melihat banyaknya jumlah umat Islam yang berbondong-bondong mendatangi Makkah sebagai kiblat mereka. Berbanding terbalik dengan antusias umat Kristen untuk berkunjung ke Vatikan yang merupakan kota suci bagi pemeluknya.

Tidak hanya itu, zakat yang seharusnya berperan memudahkan perekonomian umat Islam justru mengalami penurunan sebab tidak mengindahkan pemaknaan zuhud sebagaimana mestinya. Jika kondisi seperti ini tetap lestari, umat Islam akan terpuruk dan mengalami kemunduran. Sektor-sektor penting pun akan dikuasai oleh pihak-pihak non-Muslim yang berujung pada suburnya kesenjangan sosial. Dampak terburuknya, masyarakat Muslim akan sulit diajak berpikir maju dan berakibat pada terbelakangnya peradaban Islam.

Meskipun Islam memerintahkan umatnya untuk bekerja dan merasakan kenikmatan dunia, bukan berarti ia melegalkan hedonisme. Tersebab, dalam Al-Qu’ran surah At-Takâtsur, Allah Swt sangat melarang manusia untuk bermewah-mewahan hingga melalaikan-Nya. Oleh sebab itu, peran zuhud−dengan pemaknaan yang tepat−sangat dibutuhkan demi seimbangnya kehidupan manusia. Zuhud sendiri merupakan salah satu makam atau tingkatan seorang hamba yang berhasil menyikapi perkara duniawi dengan bijak. Tingkatan tersebut dapat diraih seorang salik yang menyelami samudera tasawuf dengan berbagai usaha dan latihan.

Dengan demikian, kita tidak bisa menilai secara serampangan, bahwa orang kaya sudah pasti tidak zuhud karena hidup bergelimang harta. Juga sebaliknya, orang miskin sudah pasti zuhud sebab hidup serba apa adanya tanpa terikat dengan kemewahan dunia. Tersebab kalkulasi yang tepat adalah dengan melihat terikatnya hati seseorang terhadap duniawi atau tidak. Perhitungan itu hanya diketahui oleh pribadi masing-masing personal.

Sebagaimana sahabat sekaligus khulafaurasyidin ketiga, Sayidina Utsman bin Affan. Beliau adalah satu-satunya sahabat yang jumlah kekayaannya melimpah dan dikelola hingga sekarang. Kebun-kebun kurma dan harta benda miliknya pun dijadikan pundi-pundi pemasukan negara.

Meskipun hidup berkecukupan dan bergelimang harta, kondisi itu tidak lantas  menyebabkan Sayidina Utsman terikat dengan harta. Sebaliknya, hidup bersahaja dan menyibukkan hatinya untuk berzikir kepada Allah justru menjadi ciri khasnya. Tidak jarang, para sahabat mendapatinya tidur di masjid beralaskan selimut sendirian, tanpa satu pun pengawal. Kebiasaan ini tentu tidak lazimnya dilakukan seorang Khalifah.

Dari pemaparan di atas, sebagai umat Islam, kita sepatutnya harus lebih kritis dalam memahami ajaran-ajaran agama, termasuk zuhud. Berupaya memaknainya sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kemudian menerapkannya dalam kehidupan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabat.

Redaktur: Izuki Muhasonah
Editor: Syafil Umam
Lebih baru Lebih lama