Muhammadiyah Vs NU; Keselarasan dalam Perbedaan

Muhammadiyah Vs NU; Keselarasan dalam Perbedaan

Beberapa hari lalu, teman saya bercerita tentang pasangan yang batal nikah karena perbedaan ormas. kenyataan itu seketika menghanyutkan saya dalam peristiwa 15 tahun silam, saat masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Saya adalah buah pernikahan blasteran dari dua pasangan dengan latar belakang ormas yang berbeda, ibu dari Muhammadiyah dan ayah dari Nahdlatul Ulama. Meski hidup dalam keluarga yang penuh perbedaan, namun saya baru memahaminya ketika masuk sekolah dasar.

Perbedaan tersebut mulai saya rasakan setiap kali berkunjung ke rumah nenek untuk mengisi waktu libur sekolah. Timbul pertanyaan dalam diri ketika melihat tidak adanya bacaan qunut setelah iktidal pada rakaat kedua salat Subuh. Sampai kegirangan dan selalu antusias merayakan momen bulan Ramadan, karena jumlah rakaat salat tarawih di Muhammadiyyah tidak sebanyak salat Tarawih Nahdlatul Ulama. Bahkan karena menyukai diskonan, hampir setiap tahun, saya selalu merengek kepada ayah agar diizinkan untuk merayakan lebaran di desa keluarga ibu yang biasa dilaksanakan satu hari lebih dulu.

Selain pada ritual-ritual ibadah personal, perbedaan itu acap kali saya temukan dalam kehidupan sosial. Di desa kelahiran ayah sekaligus tempat tinggal saya, mayoritas masyarakatanya adalah Nahdiyin. Sehingga tak jarang diadakan beberapa acara, seperti slametan dan pembacaan selawat bersama untuk merayakan maulid Nabi. Peringatan di hari tertentu paska meninggalnya kerabat atau tetangga sekitar. Serta rutinan warga setempat untuk membaca tahlil dan surah Yasin yang diadakan setiap malam Jumat.

Lain halnya dengan tempat nenek dari ibu saya tinggal, tak pernah saya dapati ritual-ritual demikian. Masih teringat jelas dalam ingatan, saat Mbah buyut meninggal dan selesai dimakamkan. Saya tidak mendapati para tetangga dan kerabat berbondong-bondong membacakan tahlil dan Yasin. Walhasil, kedua orang tua saya berinisiatif untuk mengadakan acara tersebut di kediaman ayah.      

Cerita kawan tersebut lantas membuat saya merasa bersyukur sekaligus heran. Berterima kasih sebab praktik toleransi yang begitu indah saya temukan dari orang-orang terdekat, yaitu keluarga. Ayah saya sangat mengerti dan menghargai latar belakang keluarga ibu, begitupun sebaliknya. Namun di sisi lain, timbul pertanyaan besar dalam benak saya perihal seseorang yang menganggap perbedaan ormas sebagai permasalahan, apakah harus dihindari? Meski dengan kemungkinan, bisa jadi anggapan itu berdasarkan pertimbangan tertentu, atau hanya sekadar menuruti ego karena gengsi dengan ormas sebelah, dan alasan-alasan yang lain.

Kendati demikian, pandangan saya justru dibuat terpukau dengan kisah persahabatan dua ulama, yakni KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri Nahdhatul Ulama. Kedua pelopor ormas besar ini ternyata pernah nyantri kepada guru yang sama, Kiai Saleh Darat di Semarang. Sebab bertempat di kamar yang sama, keduanya semakin akrab dan tak jarang saling bertukar cerita tentang kerinduan mereka terhadap kampung halaman.

Diceritakan pula, bahwa saat itu Hasyim kecil memanggil sahabat karibnya dengan sebutan “Mas” mengingat usianya lebih tua dua tahun di atasnya, begitu juga sebaliknya, Dahlan memanggil Hasyim dengan sebutan “Adi” sebagai bentuk rasa sayang kepada yang lebih mudah. Berkat kecerdasan dan kepintaran yang tidak diragukan lagi, keduanya pun melanjutkan studi ke Arab Saudi yang ternyata membuat mereka bertemu kembali, karena sama-sama berguru kepada Syekh Khatib Al-Minangkabawi.

Kisah kedua tokoh tersebut seharusnya mampu menjadi alarm bagi kita semua akan kebesaran hati yang dimiliki. Meskipun KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari merupakan pendiri dari organisasi keagaman yang berbeda, hal tersebut tidak lantas membuat mereka jauh. Justru semangat persaudaraan yang diusung keduanya terus berjalan dan membersamai dengan perbedaan yang ada.

Perlu kita sadari, Muhammadiyah dan NU merupakan organisasi keagamaan yang memiliki kerakter dan dinamika berbeda. Sebab, secara latar belakang pendiriannya juga berbeda. NU didirikan dengan alasan hasrat mensinergikan Islam dengan budaya setempat. Maka tidak heran jika para ulamanya berperan membawa perubahan sosial, yang dipahami secara luas telah memelihara dan menghargai tradisi lokal dengan cara mensubordinasi budaya tersebut ke dalam nilai-nilai Islam. Belakangan, kita mengenalnya dengan konsep Islam Nusantara.

Sedangakan Muhammadiyah memiliki motif lain dalam pendiriannya, yakni menampilkan wajah Islam yang lebih modern. Tidak heran, mengingat lembaga-lembaganya lahir dari inspirasi pemikir-pemikir Islam modern, seperti Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Rida yang lebih condong menggunakan pendekatan pendidikan dan transformasi budaya. Perbedaan inilah yang kemudian mengantarkan pada ketidaksamaan antara Muhammadiyah dan NU dalam melakukan ritual keagamaan sehari-hari.

Tidak hanya latar belakang saja yang membuat NU dan Muhammadiyah berbeda. Cara pandang keduanya yang tidak sama dalam memaknai prinsip-prinsip dasar metodologi penetapan hukum, ternyata juga berkonsekuensi pada perbedaan cara penetapan hukum. Maka wajar saja jika kedua lembaga ini sering berbeda pendapat mengenai produk hukum yang dihasilkan. Seperti penetapan satu Ramadan dan Syawal yang seringkali berselisih hari. Dalam penetapannya, Muhammadiyah menggunakan metode Hisab, sedang NU dengan metode Rukyatul Hilal.

Memang terdapat perbedaan-perbedaan mendasar antara kedua organisasi tersebut. Namun, ada satu benang merah yang menyelarasakan antara Muhammadiyah dan NU, yaitu menyebarluaskan Islam ke penjuru negeri. Dari sini kita belajar, bahwa pebedaan adalah keniscayaan yang akan selalu kita temui dalam kehidupan. Selagi ada keselarasan tujuan serta semangat juang, perbedaan tidak menjadi penghalang, bukan?

Redaktur: Izuki Muhasonah
Editor: Syafil Umam
Lebih baru Lebih lama