Open Minded dan Relativisme Nilai

Open Minded dan Relativisme Nilai

Saat ini, LGBT menjadi salah satu isu kemanusiaan yang sedang hangat dan cukup kontroversial di kalangan masyarakat. Tentu sangat wajar, mengingat LGBT merupakan akronim yang mewakili sekumpulan orang dengan orientasi seksual berikut: Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender.

Bagi masyarakat yang kontra, LGBT dianggap sebagai fenomena seksual menyimpang, baik dari sudut pandang moral maupun agama, dan berkonsekuensi membahayakan generasi muda. Berbeda halnya bagi masyarakat yang pro, mereka membenarkan LGBT atas nama toleransi keberagaman dan dukungan kesetaraan hak asasi manusia (HAM). Bahkan tak jarang, ada pula yang berpandangan, bahwa seseorang yang menentang LGBT berarti close minded atau tidak memiliki pikiran terbuka. Lalu, apa sebenarnya makna dari open minded?

Secara umum, berpikir terbuka merupakan kemampuan berpikir secara aktif dengan membuka diri terhadap berbagai macam ide, gagasan, maupun sudut pandang baru yang mungkin bertentangan dengan apa yang dipercayai serta mampu untuk melihat, menilai dan menjelaskan objek secara objektif. Pengertian lain mejelaskan, bahwa open minded adalah kemampuan untuk memperhatikan secara detail tentang kesediaan menanggapi apa saja yang orang lain katakan. Dan jika ditanyakan kembali, ia akan mengadopsi hasil analisis sebelumnya dan menganggapnya sebagai argumennya sendiri (Cohen, 2009).

Tidak dipungkiri, berpikir secara terbuka termasuk salah satu tahapan yang mendorong seseorang untuk berpikir lebih rasional, kritis, dan menemukan solusi yang tepat. Dalam ranah sosial, seorang individu akan lebih bijak dalam merespons situasi sehingga tidak mudah menyalahkan pendapat yang tidak sepaham dengannya. Lebih dari itu, pola pikir semacam  ini juga dapat melatih mental dan membentuk karakter yang optimis dan percaya diri.

Namun pada praktiknya, berpikiran terbuka tidak selalu berjalan mulus. Setiap personal akan mengalami dan menemui berbagai macam hambatan yang menyebabkan kegagalan dalam mengoperasikannya. Kegagalan berpikir terbuka biasanya disebabkan berbagai macam bias dan faktor lainnya.

Termasuk contoh dari kegagalan berpikir terbuka adalah respons yang membenarkan fenomena LGBT di atas dengan berbagai alasan yang mendukungnya. Sebagian pelaku menganggap sah ‘menyukai sesama jenis’ dan menganggapnya sebagai bentuk mengeskpresikan identitas seksual. Bahkan muncul keyakinan dalam diri pelaku LGBT, bahwa perilaku mereka adalah benar, normal, wajar, dan sampai pada tahap keyakinan, perilaku tersebut memang sudah dari sananya.

Tidak hanya itu, istilah “mabok agama”, “diskriminasi HAM”, atau “close minded” juga tidak lupa mereka sematkan secara terang-terangan kepada para penolak LGBT. Kemudian, bukankah tindakan menge-cap tidak open minded karena berbeda sudut pandang adalah bentuk ketidak-open minded-an itu sendiri?

Padahal, LGBT bukan kultur asli bangsa Indonesia, melainkan budaya Barat yang kini kian masif disebarluaskan oleh aktivis HAM-liberal. Sayangnya, kebanyakan dari kita begitu mudah menerima, mengambil ide, gagasan, atau nilai-nilai baru dari pemikiran bangsa Eropa. Di mana, bisa jadi hal itu hanyalah kamuflase semata; pemikiran yang dipaksa masuk agar dapat diterima dengan dalih “open minded”.

Justifikasi di atas tidak lain berangkat dari asumsi sebagian masyarakat yang memahami open minded sebagai suatu sikap yang menoleransi segala macam pemikiran atau ideologi. Meyakini bahwa tidak ada standar khusus yang berlaku bagi setiap orang maupun masyarakat. Kini, keyakinan tersebut kerap disebut juga dengan faktor relativisme dalam berpikir.

Menurut A. Shomali Mohammad dalam bukunya yang berjudul Relativisme Etika, relativisme merupakan pola pikir yang memandang kebenaran sebagai masalah pendapat dan persoalan ukuran penilaian pada konteks personal dan budaya belaka. Penganut pandangan ini menolak adanya kebenaran universal. Tersebab, kebenaran dianggap bergantung pada manusia yang memiliki cara berpikir berbeda tersendiri. Dampak dari perilaku semacam ini apabila berkelanjutan, akan melahirkan paham skeptisisme (anggapan bahwa kebenaran tidak dapat diketahui) dan nihilisme (tidak ada kebenaran yang absolut).

Dari definisi tersebut, kita dapat mengklasifikasikan relativisme ke dalam dua bentuk, yaitu subjektivisme dan relativisme kultural. Pertama, subjektivisme merupakan pandangan yang menyatakan, bahwa kebenaran merupakan persoalan pendapat individu semata. Menurut pandangan ini, semua hal yang dipercayai setiap individu sebagai kebenaran adalah benar hanya bagi individu tersebut. Artinya, kebenarannya tidak berlaku untuk semua orang, karena kebenaran bersifat subjektif. Kasus LGBT di atas termasuk salah satu bentuk subjektivisme. Tersebab, jika seseorang menolak LGBT sementara yang lain menerimanya, maka benar-salahnya kedua pendapat ini tidak dapat dievaluasi.

Kedua, relativisme kultural. Pandangan ini menjelaskan, bahwa kebenaran adalah persoalan sosial atau pendapat dari kebudayaan tertentu. Dengan kata lain, menurut seseorang, kebenaran disetir oleh kebudayaan atau komunitas di sekitarnya. Misal, seseorang yang berasal dari suku Batak, di mana para penduduknya tidak membanarkan poligami, maka seseorang tersebut akan menyetujuinya. Sehingga ketika ditanya alasan dari sikapnya, ia akan menjawab, “Karena masyarakat Batak berpendapat demikian.”

Dari pemaparan di atas, menjadi semakin terang, bahwa open minded tidak hanya terbatas pada persoalan menyetujui pemikiran atau ideologi belaka, namun juga harus mencernanya. Apakah pemikiran tersebut cocok untuk dijadikan landasan atau tidak? Apakah pandangan tersebut layak dianggap sebagai kebenaran yang patut disetujui atau tidak?

Selain menanggapi persoalan dengan kritis, diperlukan juga kacamata agama dan moral sebagai neraca kebenarannya. Dua hal ini menjadi sangat penting yang tidak boleh terlewatkan. Mengingat pada batas tertentu, akal manusia terkadang tidak mampu membaca dan memecahkan permasalahan. Sehingga pada akhirnya, terciptalah konklusi atau kesimpulan yang dianggap efektif dalam menganalisis objek kajian tertentu.

Redaktur: Izuki Muhasonah
Editor: Syafil Umam
Lebih baru Lebih lama