Rekonstruksi Pengertian Nasihat

Rekonstruksi Pengertian Nasihat

Kritik atau nasihat bukanlah hal yang dilarang oleh agama. Bahkan Nabi mengajarkan bahwa agama Islam dibangun atas dasar saling menasihati dan saling mengkritik guna menjadikan kita lebih baik dari kondisi sebelumnya. Namun, seiring berkembangnya zaman, kerap terjadi kesalahpahaman perihal pengertian nasihat itu sendiri. Sehingga banyak orang yang kemudian mencaci serta menghina orang lain dengan dalih menasihati.

Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Al-Farq baina An-Nashîhah wa At-Ta’yîr menyebutkan, bahwa terdapat kemiripan antara an-nashîhah (nasihat) dengan at-ta’yîr (hinaan). Keduanya didefinisikan sebagai ”dzikr al-insan bi mâ yakrahu dzikrahu” (menyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak dia senangi). Kegiatan tersebut akhirnya seringkali menimbulkan kebingungan dalam benak banyak orang.

Kita tentu sudah mengerti bahwa menyebut seseorang dengan hal yang tidak dia senangi adalah perbuatan yang dilarang oleh agama. Dengan syarat, tujuan dari penyebutan itu adalah semata-mata untuk menghina, merendahkan, atau mencaci orang tersebut. Namun berbeda ketika penyebutan tersebut dilakukan demi kemaslahatan bersama. Dalam posisi ini, tidak ada larangan, bahkan menjadi sesuatu yang dianjurkan.

Hal di atas dapat kita lihat dalam tradisi ulama salaf dalam karya-karya mereka. Kita seringkali menemukan berbagai macam perdebatan, bantahan, bahkan penolakan atas pendapat-pendapat ulama lainnya. Tentu, tradisi itu harus bertujuan untuk izhhâr al-haq (menampakkan kebenaran). Dan harus tetap menjunjung tinggi etika dalam menyampaikan pendapat.

Para ulama sadar betul bahwa “salah” adalah sifat alamiah manusia. Kendatipun demikian, mereka tetap bersedia menerima kebenaran walaupun datang dari anak kecil. Dan secara terus-menerus, mereka berpesan kepada murid-muridnya untuk selalu terbuka menerima kebenaran meskipun datang dari orang yang berbeda pendapat dengan mereka.

Perbedaan antara nasihat dan hinaan dapat kita lihat dengan jelas dalam penjelasan Fudhail bin Iyadh. Bahwa orang beriman akan menutup aib orang lain lalu menasihatinya. Sedangkan orang yang berperangai buruk akan mengumbar aib dan mencelanya. Dari ungkapan tersebut dapat kita pahami, bahwa nasihat itu harus disertai dengan menutup kekurangan atau keburukan orang lain. Berbeda 180 derajat dengan hinaan. Karena orang yang berniat menghina, tidak memiliki tujuan selain menyebarkan keburukan orang yang dia hina.

Nasihat harus dilakukan dengan cara serta tujuan yang baik dan benar. Ibarat bepergian, kendaraan yang digunakan haruslah sesuai−dengan perjalanan, agar perjalanan lancar dan terasa nyaman. Di sisi lain, orang yang bepergian harus menentukan tujuan dengan baik agar tidak menemukan rintangan berarti dalam perjalanannya. Begitu pun dengan orang yang menasehati. Dia harus memilih cara dan menentukan tujuan dengan tepat.

Seorang penasihat harus mengungkapkan kekurangan atau keburukan orang yang dinasihati di hadapannya. Sebagian ulama salaf mengatakan, ”Engkau belum menasihatiku sampai engkau mengatakan sesuatu yang tidak aku senangi di depanku!” itu salah satu cara menasehati yang benar. Kemudian  tujuan menasihati adalah agar orang yang dinasihati bisa memahami kekurangannya, kemudian memperbaiki dan menjauhinya.

Berbeda dengan nasihat, hinaan adalah laku yang dilarang agama. Meskipun hinaan itu terjadi karena perbuatan dosa. Larangan tersebut bisa kita lihat dalam salah satu hadis yang menyebutkan bahwa Nabi bersabda:

مَنْ عَيَّرَ أَخَاهُ بِذَنْبٍ لَمْ يَمُتْ حَتَّى يَعْمَلَهُ

Barang siapa yang menghina saudaranya atas dosa yang dilakukan, dia tidak akan mati hingga melakukan dosa tersebut.

Keterangan di atas memberi kita pemahaman, bahwa di antara nasihat dan hinaan terdapat perbedaan. Perbedaan itu dapat dilihat dari cara serta tujuan yang dipilih. Memang tidak ada larangan dalam menasihati orang lain, siapa pun itu. Namun, harus memperhatikan dan melandasinya dengan cara serta tujuan yang ditetapkan oleh agama.

Redaktur: M. Rofiqul Amin
Editor: Syafil Umam
Lebih baru Lebih lama