Turâts; Karya Usang Tak Berguna atau Jimat Sakti Mandraguna?

Turats; Karya Usang Tak Berguna atau Jimat Sakti Mandraguna?

Turâts secara umum dapat dipahami sebagai segala bentuk warisan pendahulu yang lolos dari erosi zaman. Namun dalam tradisi keilmuan Islam, istilah turâts memiliki makna yang lebih spesifik. Turâts lebih sering diartikan sebagai karya tulis para ulama salaf yang terabadikan menjadi sebuah kitab. Syekh Ali Jum’ah (ulama senior Al-Azhar) membatasi turâts sampai masa Imam Ibrahim Al-Bajuri (abad 12 H). Hingga kini, turâts masih menjadi pemeran utama dalam panggung literasi keislaman. Ia masih dikaji secara masif di instansi-instansi keislaman seperti pesantren, sekolah, lembaga kajian, dan sebagainya.

Fenomena di atas berjalan dengan sangat efektif selama beberapa abad sampai dunia memasuki babak baru. Tak dapat dipungkiri, di era milenium ketiga (abad 21 hingga 30 M), relevansi turâts sedikit banyak telah terdampak erosi waktu. Sebagaimana diketahui, turâts tak sama dengan Al-Qur’an maupun hadis yang pasti tak akan lekang oleh masa. Turâts tak lebih sekadar hasil olah pikir serta interpretasi ulama terdahulu yang belum tentu cocok dengan dinamika era sekarang. Namun sangat disayangkan, acap kali terjadi kesalahan dalam memahami peran turâts pada masa sekarang. Kesalahan tersebut kerap memaksa turâts berada di posisi yang menggantung; sakralisasi atau eliminasi.

Di beberapa lembaga Islam tradisional dan konservatif, sering kita jumpai para pelajar agama yang memegang teguh turâts sebagai pedoman keilmuan mereka. Fakta tersebut merupakan vibrasi positif selama masih dalam batasan yang telah dikonsep para pakarnya. Nahasnya, tak sedikit dari mereka kurang tepat dalam memahami peran turâts.  Beberapa dari mereka bahkan kekeh menganggap, bahwa turâts itu sakral dan suci. Anggapan bahwa turâts tak pernah salah sepanjang masa seakan melekat pada otak mereka. Mungkin anggapan ini muncul lantaran praktik norma kesopanan yang nonproporsional. Norma tersebut kemudian kaprah menjadi doktrin utama dalam beberapa lembaga konservatif di atas. Mereka menganggap, bahwa membantah turâts yang sakral merupakan tindakan lancang dan tak sopan, juga menghilangkan keberkahan ilmu. Hingga akhirnya, sebagaimana hukum aksi-reaksi, muncul kelompok akademisi Islam yang membenci mereka serta alergi pada turâts.

Dengan dalih pembaharuan Islam, sekelompok akademisi muslim ingin membuang turâts dari khazanah keilmuan Islam modern. Dengan amunisi beberapa butir kesalahan turâts, mereka secara kontinu mempropagandakan bahwa turâts tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Beberapa di antara mereka gencar menyuarakan ‘kembali kepada Al-Qur’an dan hadis’. Sementara yang lain gemar menafsirkan keduanya sekehendak nafsunya. Selain beberapa kesalahan dalam turâts, kebencian mereka terhadap turâts juga lahir akibat bias dari kebencian terhadap kelompok yang doyan menyakralkan turâts. Namun, mereka terlalu berlebihan hingga lupa bahwa salah satu jalan memahami Al-Qur’an dan hadis adalah turâts

Turâts tak layak dibuang sebab beberapa butir kesalahan saja. Meskipun relevansinya sedikit banyak tergerus masa, turâts bukanlah karya usang dan tak berguna. Setidaknya terdapat esensi perjuangan ulama tertanam kuat di dalamnya yang harus tetap terabadikan. Di antaranya adalah esensi perjuangan dalam mewujudkan syariat Islam yang paling tepat untuk satu masa. Esensi tersebut merupakan esensi pokok yang tertanam di dalam turâts dan harus dilestarikan. Namun, pelestarian esensi tersebut tak mungkin terwujud bila turâts tereliminasi dari khazanah keilmuan Islam. Lantaran demikian, pelestarian turâts menjadi lazim bagi kaum intelektual muslim. Selanjutnya, melalui pemahaman terhadap turâts, perjuangan para ulama salaf yang merupakan esensi karya-karya mereka dapat dilanjutkan.

Kendati demikian, turâts juga bukan pusaka yang patut dianggap suci bak jimat sakti. Seberapa alim pun seorang ulama, ia bukanlah seorang nabi yang maksum. Pendapat serta fatwanya tak bisa dipastikan relevan sepanjang masa. Selain itu, para ulama juga telah mengajarkan, bahwa saling mengkritik merupakan perkara lumrah dalam tradisi keilmuan, sepanjang sejarah Islam. Seperti Imam As-Suyuthi yang tak canggung mengkritik kitab Al-Burhan milik Az-Zarkasyi, juga Imam As-Syafii yang beberapa kali−dengan hormat−menolak pemikiran sang guru, Imam Malik. Hal tersebut tak menunjukkan bahwa pengkritik lebih mulia dari yang dikritik, pun tak mengurangi kemuliaan ulama yang dikritik. Justru dengan adanya kesalahan dalam berfatwa, seorang ulama menjadi sempurna sebagai manusia biasa. Sebab manusia tanpa kesalahan, ia tak lagi manusia, bukan?

Redaktur: Gelar Washolil Autho’
Editor: Syafil Umam
Lebih baru Lebih lama