Bagian 1: Keselarasan Pemikiran Abu Hanifah di Zaman Kiwari

Keselarasan Pemikiran Abu Hanifah di Zaman Kiwari

Kondisi sosial masyarakat di seluruh belahan dunia mengalami perubahan yang signifikan setiap waktunya. Sebagai entitas yang dinamis, ia menerima berbagai kultur baru yang dibangun oleh manusia atau dikenal dengan fenomena globalisasi. Kultur ini lah yang kemudian mengawali terjadinya seluruh restrukturalisasi sosial. Dalam merespon hal tersebut, kini umat muslim dituntut untuk menyesuaikan ajaran Islam dengan perkembangan sosial yang terjadi. Hal ini selaras dengan ungkapan bahwa Islam mampu mengakomodir setiap perkembangan zaman dan keadaan. Sebab memang sesungguhnya ia dibangun atas dasar kemaslahatan manusia untuk kebahagiaan hidup mereka di dunia dan akhirat.

Penyesuaian tersebut direalisasikan melalui beberapa kaidah yang telah diinisiasi dan dirumuskan dengan baik oleh para ulama terdahulu. Khususnya empat imam mujtahid mutlak yang hingga kini ajarannya masyhur dan kita jadikan pegangan dalam bermazhab, agar tidak salah dalam mengambil langkah. Di antaranya ialah, Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafii, dan Ahmad bin Hambal. Dalam tulisan kali ini, saya akan lebih khusus menyoroti pendapat Abu Hanifah yang cukup melibatkan rasio dalam menentukan hukum, sekaligus mencoba menganalisis keselarasannya di zaman kiwari. Namun sebelum itu, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu biografinya secara singkat, khususnya pada lingkungan di mana ia menghabiskan masa hidupnya. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi lingkungan sekitar bisa memengaruhi pendapat seseorang.

Abu Hanifah atau Nu’man bin Tsabit merupakan pendiri Mazhab Hanafi yang lahir di Kufah, pada tahun 80 H dan wafat di Baghdad pada 150 H. Muhammad Ali As-Sayis menyebutkan bahwa sebelum masuk ke dunia santri, Abu Hanifah dikenal sebagai pedagang yang jujur dan terpercaya. Setelah bergelut di dunia pasar, ia bertolak ke dunia santri untuk mempelajari fikih dan menerima hadis dari beberapa ulama di berbagai daerah, yaitu Kufah, Bashrah, Makkah, dan Madinah (As-Sayis, Târîkh Al-Fiqh Al-Islâmî). Lantas kemudian ajaran yang ia dapat melalui beberapa gurunya ini, dielaborasi dan dikomparasikan dengan baik, sehingga ia mampu menemukan pandangan dan metodologinya sendiri. Sebagai mazhab fikih pertama kali hadir, saya menjadi penasaran, apakah pembentukannya yang lebih awal dan jarak masanya yang lebih jauh dengan zaman sekarang ini, membuatnya tidak relevan dan konservatif, atau justru lebih baik? Mari kita analisis bersama!

Kota Kufah dan Baghdad merupakan pusat pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah. Sebagai jantung peradaban Islam saat itu, segala bentuk perdagangan dan transaksi dari seluruh penjuru dunia masuk ke wilayah ini. Maka tidak heran jika terjadi fenomena akulturasi dan asimilasi beragam bangsa, budaya dan tradisi, serta strata sosial masyarakat yang dibawa oleh para pendatang.  Hal ini meniscayakan kota metropolitan ini memiliki penduduk yang pluralis, heterogen dan majemuk, baik dari segi sosial, budaya, agama, ekonomi, maupun ras dan etnis (Ziadeh, Equality [Kafâ’ah] In The Muslim Law Marriage).

Karakter masyarakat ini membawa konsekuensi pada perkembangan dan kemunculan problematika yang kompleks dan dinamis dari berbagai aspek dalam lapisan masyarakat. Tentu saja fenomena ini sulit untuk dihindarkan. Oleh karenanya, perlu dihadirkan solusi untuk mencukupi kebutuhan hukum baru yang mengikat dan sesuai dengan aturan dalam Al-Qur’an dan sunah. Akan tetapi, situasi ini diperparah dengan letak geografisnya yang jauh dari sumber hadis, yaitu Makkah dan Madinah. Sehingga, penyebaran hadis terbilang tidak pesat atau bahkan bisa dikatakan terputus distribusinya (Ar-Rahman, Dirâsât fî As-Sunnah An-Nabawiyyah). Selanjutnya yang terjadi adalah ketimpangan realitas antara perkembangan masalah dengan jumlah hadis yang ada sebagai referensi solusi atas hukum yang dipilih.

Latar belakang Abu Hanifah, gejolak sosial-budaya masyarakat dan minimnya hadis yang tersebar di sekitarnya ini, cukup mengintervensi beberapa pandangan dan pemikirannya. Banyak orang yang menyebutnya sebagai promotor kaum rasionalis atau Ashâb Ahli Ar-Ra’yi. Artinya, karakteristik penggunaan rasio pada pemikiran Abu Hanifah lebih menonjol ketimbang imam mazhab yang lain. Seperti, pengutamaan kias dibanding hadis ahad ketika bertentangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya menghindari hadis palsu dan berhati-hati dalam memilih di antara minimnya penyebaran hadis yang belum bisa dijamin kredibilitasnya. Selain itu, contoh lainnya juga terdapat pada penggunaan Istihsan sebagai salah satu metode pengambilan hukum. Berbeda dengan Imam Syafii, ia sangat menolak penggunaan Istihsan dan bahkan menyebut penggunanya sebagai orang yang sewenang-wenang dalam membuat hukum.

Baca juga Bagian 2: Keselarasan Pemikiran Abu Hanifah di Zaman Kiwari

Redaktur: Nur Afidatus Sofiyah Ch.
Editor: M. Abda' Rifqi
Lebih baru Lebih lama