Lamunan Senja

Lamunan Senja

Ponselku tiba-tiba bergetar saat aku asyik bercanda dengan temanku. Ibuku menelepon, aku segera naik ke atas rumah dan mengangkatnya. Di sana terlihat ramai. Ayah dan Ibu sedang bersantai di ruang tamu. Adikku mengambilkan minum untuk mereka, dan membawa dua buah piring ke dapur. Sepertinya mereka baru selesai makan malam.

Aku menanyakan kabar mereka, dan  mulai bercerita rutinitas harianku dua bulan ini. Setelah lama bercerita  dengan orang tuaku, adik membawa ponsel nya ke dalam kamar. Ia menggerutu jika dua minggu lagi harus balik pondok. 

“Mana janjinya dulu sebelum berangkat? Katanya mau ngajak ke puncak?” dia masih ingat rupanya.

“Berangkat sendiri lah, udah gede. Alat-alat juga dirumah” bantahku.

“Disimpan sama ayah, aku ga boleh pakai!” tukasnya.

Sukurin, udah cepat siapkan barang-barangmu, belajar yang rajin!” ejekku padanya.

“Kakak yang sangat tidak kasihan pada adiknya” balasnya sambil memoncongkan mulut. 

Aku bercerita banyak tentang perkuliahanku. Ia ingin menyusul kemari setelah lulus dari pondok. Mungkin sekitar satu tahun lagi. Tak terasa, hari mulai gelap. Matahari akan terbenam sebentar lagi. Aku berpamitan dengan orang tuaku untuk bersiap-siap ke masjid. Sebelum telepon berakhir, mereka sempat berpesan untuk meneguhkan niat, jangan lupa pada tujuan, dan pesan-pesan lain yang senada.

Telepon berakhir, dan aku menghela nafas sejenak. Tak terasa, sudah genap dua tahun ini aku tak pulang. Waktu berlalu begitu cepat, bahkan terlalu cepat. Maksudku, aku bahkan tidak sadar jika sebentar lagi adikku lulus dari pondok, teman teman seangkatanku sudah sibuk KKN, dan beberapa perubahan lainnya. Aku ingat bagaimana dua tahun lalu sebelum aku berangkat, masih banyak waktu untuk main-main, ke sana kemari, atau hanya sekadar nongkrong sampai subuh tanpa tujuan. Aku sempat di waktu itu, hingga sekarang, semuanya berubah.

Tiba-tiba secuil kerinduan muncul begitu saja. Aku baru sadar, kenangan tentang rumah dan apapun yang terjadi di sana terlalu banyak. Dan semuanya tak bisa kuulang kembali. Terlalu banyak penghalang untukku. Bertemu dengan teman-teman terhalang oleh jarak. Bertegur sapa dengan keluarga, terhalang oleh waktu. Ditambah empat tahun aku tidak bisa bertemu mereka. Tentu bukan waktu yang sebentar. Dua tahun lagi saat aku pulang, semua keadaan telah berubah. 

“Tak bolehkah seorang pelajar yang merantau ini merindu?” gumamku dalam hati. 

Angin yang mendengar pertanyaanku di sore hari itu hanya diam, tak menjawab sepatah kata pun. Ia hanya membelai rambutku lembut, mengingatkanku dengan belaian dan kasih sayang ibuku di rumah. Hidup di negeri orang memang tak selalu menyenangkan. Terbayang-bayang dengan kampung halaman hampir setiap hari kurasakan. Meski zaman semakin canggih, terdapat fitur video call atau semacamnya, tetap saja rasanya berbeda. Rindu tetaplah rindu.   

Dalam lamunanku di sore hari sembari membaca apa yang tersembunyi dalam sepi.  aku teringat percakapanku dengan ayah di malam sebelum aku berangkat. 

“Orang hebat tidak lahir dari kemudahan, dan kenyamanan. Mereka dibentuk, oleh tantangan, dan air mata.” kata-kata ayah berbisik lembut di ingatanku.

Aku mencoba merenungi perkataanya. Bukan aku tak faham dengan kata-kata itu. Hanya saja, jika keadaan ini harus terjadi padaku, menerimanya tidak semudah membalik telapak tangan. Terkadang, aku ingin kembali pulang dan merasakan apa yang dirasakan anak seusiaku di rumah. Kuliah pagi, siang pulang, dan menghabiskan malamnya hingga larut di warung kopi. Bertemu setiap hari dengan teman lamanya, dan pergi ke puncak selepas ujian akhir.

Masa mudaku sepertinya akan habis jauh dari teman-teman, jauh dari keluarga, jauh dari rumah. Haruskah itu yang aku bayar untuk mengejar cita-citaku? Waktu, kesempatan, kesenangan, seakan dikikis sedikit demi sedikit. Bahkan mungkin tak ada lagi waktu untuk bersenang-senang. Biarlah kesenangan yang pernah kulalui hanya menjadi kenangan manis. Sekarang, itu tak lebih dari hanya sebuah cerita masa lalu. 

Ayah melanjutkan pesannya “Kita perlu melihat bagaimana proses sebutir padi hingga bisa dimakan. Saat sudah siap untuk dipanen, ia harus dikuliti agar menjadi beras. Tak berhenti di situ, beras pun mesti digodok dalam tungku panas dulu sebelum akhirnya bisa dimakan”.

“Toh, petani yang menanam benih padi  mustahil memanen kurma. Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai . Ketika kita menanam kebaikan , kau juga akan menuainya, begitupun sebaliknya.” sambung beliau.

Aku rasa memang  kenangan tak bisa dibeli dengan apapun. Tetapi, aku juga mesti tetap bersyukur dan mengambil hikmahnya. Mungkin, ini sudah digariskan oleh-Nya. Jalanku, tak semudah jalan anak-anak pada umumnya. Orang tuaku, meskipun dengan sedikit berat hati, tetap rela melepasku ke Kota Seribu Menara ini. Tak semua orang tua punya keikhlasan dan ketabahan hati untuk melepas anaknya jauh dari mereka. 

Suara azan maghrib sayup-sayup terdengar hingga menyadarkanku dari lamunan panjang ini. Aku turun ke kamar, memakai pakaianku, dan segera berangkat ke masjid. Aku mulai melangkah, dengan membawa sisa-sisa rindu yang masih membekas di benakku. Semoga saja, semua kan terobati dengan menghadap kepada-Nya.

Redaktur: Afif S.N
Editor: Gelar Washolil Autho

Lebih baru Lebih lama