Pandangan Al-Azhar Tentang Perempuan

Pandangan Al-Azhar Tentang Perempuan
Syekhul Azhar Ahmad Ath-Thayyib

Pembahasan tentang perempuan memang selalu menjadi topik menarik dan tidak pernah habis untuk diperbincangkan. Perkembangan zaman dan kehidupan yang dinamis, seakan tak pernah henti melahirkan masalah-masalah baru tentang perempuan yang penting untuk dikaji. Maka tidak heran, jika Al-Azhar sebagai kiblat keilmuan Islam pun ikut andil dalam menaggapi persoalan yang berkaitan dengan perempuan. 

Dilansir dari Shautul Azhar (nama media resmi Al-Azhar), bahwa pada tahun 2013 Syekhul Azhar Ahmad Ath-Thayyib menyerukan ijtihad secara kolektif untuk mengkaji beberapa persoalan khusus mengenai perempuan. Ijtihad kolektif tersebut dipimpin oleh beliau sendiri bersama lembaga fatwa yang berkualitas dan terjamin kredibilitasnya, yakni Majma’ Al-Buhûts Al-Islâmiah dan Hai’ah Kibâr Al-Ulamâ’. 

Hal yang dibahas dalam perkumpulan para ulama Azhar waktu itu, tidak lain adalah upaya membangun prinsip-prinsip utama terhadap kaum perempuan (al-masyrû’ at-ta’sîsî). Dimana Islam memandang kedudukan perempuan sama dengan laki-laki tidak hanya sebagai manusia, tetapi juga dalam hal kontribusi di tengah kehidupan masyarakat. Artinya, tidak ada seorang pun yang boleh membatasi hak-hak perempuan, kecuali pada ranah yang sudah ditetapkan oleh syariat.

Diskusi para ulama yang bertema kewanitaan atau dikenal dengan istilah Al-Ijtihâd Al-Azhar fî Fiqhi An-Nisâ’ tersebut pada awalnya baru menghasilkan tujuh fatwa. Namun, seiring dengan bertambahnya problematika yang terus berkembang, para ulama akhirnya terpantik untuk terus berijtihad sehingga berhasil melahirkan empat belas pandangan tentang perempuan.

Pandangan-pandangan tersebut diantaranya—pertama—poligami. Di sini ditekankan bahwa hukum asal menikah ialah memiliki satu istri. Kedua, perihal jabatan tinggi bagi perempuan. Semua jabatan sejatinya terbuka bagi perempuan, termasuk menjadi pemimpin, mufti, dan hakim. Ketiga, bepergian tanpa mahram. Melihat kondisi era sekarang yang semakin memberikan kemudahan untuk bepergian, maka boleh bagi perempuan untuk melakukan perjalanan tanpa mahram jika dirasa aman. Keempat, kekayaan suami. Seorang istri yang ikut serta dalam mengembangkan harta suami, maka ia memiliki hak didalamnya di luar warisan. Kelima, pernikahaan di bawah umur. Melangsungkan pernikahan dengan usia yang belum dikatakan cukup tidak disetujui syariat. Karena berbahaya dan melanggar undang-undang negara. Keenam, kekerasan terhadap perempuan. Selain haram secara syariat, kekerasan juga menjadi indikasi bahwa pelaku yang melakukan hal tersebut merupakaan orang yang minim pengetahuan dan tidak bermoral. Ketujuh, pelecehan seksual. Tindakan tersebut masuk dalam kategori kriminal yang diharamkan dan tidak dibenarkan oleh syariat dengan alasan apapun. Kedelapan, khitan perempuan. Meskipun terdapat beberapa muslimah yang dikhitan, namun praktek tersebut ternyata tidak ada landasannya secara syariat. Kesembilan, paksaan menikah. Bagi seorang wali, tidak diperkenankan secara syariat memaksa anak perempuannya untuk menikah. Kesepuluh, talak sewenang-wenang. Seorang suami yang menalak istri dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat maka hukumnya haram. Kesebelas, memukul istri dilarang sesuai hukum asalnya. Kedua belas, menghalangi perempuan mendapatkan hak waris. Tindakan tersebut ditetapkan sebagai bentuk perlawanan terhadap ketetapan-ketetapan Allah. Ketiga belas, beberapa adat dan tradisi yang berkaitan dengan perempuan kerap merugikan perempuan dengan dalih agama. Keempat belas, rumah ketaatan. Suatu lembaga yang ada di Mesir dan bertugas untuk mengatasi permasalahan dalam rumah tangga ternyata tidak ada dalam agama Islam. 

Di sisi lain, terdapat hal penting yang perlu kita ketahui. Sebagai lembaga yang selalu menggaungkan dan memiliki citra wasathiyyah, Al-Azhar dalam setiap pembahasannya—termasuk dalam menghadirkan pandangan-pandangan di atas—selalu menyinergikan antara teks agama dengan rasionalitas akal. Selain itu, turâts yang merupakan tradisi keilmuan Al-Azhar pun selalu menjadi rujukan dalam membedah sebuah persoalan, namun tidak sampai pada tahap mengultuskan. Sehingga dapat kita pahami bahwa keputusan tersebut tidak bersifat tetap karena selalu menyesuaikan kondisi dan perkembangan zaman.

Dari pemaparan di atas, sebagai Azhari secara khusus dan muslim secara umum, hendaknya kita mengimplementasikan pandangan-pandangan para masyâyikh Al-Azhar agar tidak berhenti menjadi sebuah teori saja. Berupaya menyosialisasikan kepada khalayak umum agar mereka tidak terkesan kaku dan salah kaprah dalam memosisikan perempuan. Jika tidak sekarang, lantas sampai kapan perempuan tidak mendapatkan hak yang semestinya?

Redaktur: Izuki Muhasonah
Editor: Gelar Washolil Autho
Lebih baru Lebih lama