Bagian 2: Keselarasan Pemikiran Abu Hanifah di Zaman Kiwari

Keselarasan Pemikiran Abu Hanifah di Zaman Kiwari

Perkembangan problematika yang terjadi kini disinyalir lebih relevan dan cukup dipermudah dengan mengikuti pendapat Abu Hanifah ketimbang yang lain. Tersebab, permasalahan yang ia hadapi memiliki keserupaan dengan apa yang terjadi di zaman kiwari. Secara geografis, Kufah dan Baghdad termasuk daerah yang cukup jauh dari Makkah dan Madinah sebagai tempat diturunkannya Islam dan pesatnya penyebaran hadis. Begitu pula Indonesia dan negara lainnya yang bahkan lebih jauh dari Makkah dan Madinah. Tentu problematika yang dihadapi malah lebih variatif dan dinamis.

Baca juga Bagian 1: Keselarasan Pemikiran Abu Hanifah di Zaman Kiwari

Demikian juga jika kita lihat dari sisi selisih masa hidup Abu Hanifah dan masyarakat zaman kiwari, dengan kehidupan nabi dan para sahabat. Keduanya tidak merasakan nikmatnya kehadiran nabi sebagai tempat mengadu dan kembalinya setiap permasalahan. Pun jika sudah terdapat hadis sebagai manifestasi pemikiran nabi, ia tidak tersebar secara masif dan sukar untuk dijamin kredibilitasnya. Oleh karena itu, pengintegrasian rasio dengan teks agama dalam menentukan hukum cukup efektif sebagai solusi dalam merespon gejolak sosial-kultural yang terjadi. Untuk membuktikan hal tersebut, saya akan menyebutkan dua contoh yang merepresentasikan keselarasannya.

Pertama, praktik jual beli yang transaksinya menggunakan sistem modern, seperti belanja di supermarket dan vending machine. Dalam praktiknya, ketika belanja di supermarket, pembeli akan memilih produk yang diinginkan dan membawanya ke kasir sebagai bentuk persetujuan. Kemudian transaksi pembayaran dilakukan sesuai harga pada barcode yang telah di-scan. Begitu juga dengan vending machine, transkasi pembayarannya dilakukan dengan memasukkan koin sesuai harga yang tertera pada mesin atau menggunakan kartu kredit. Praktik seperti ini dinilai cukup efektif dan efesien karena tidak memperlambat jalannya transaksi, terlebih dalam penjualan dengan kuantitas besar.

Dalam literatur fikih klasik, praktik ini lazim dikenal dengan istilah jual beli mu’âthâh (akad jual beli yang berlangsung tanpa pengucapan akad secara eksplisit). Menurut Syafii, praktik ini tidak dapat dibenarkan, lantaran memungkinan terjadinya penipuan yang akan merugikan salah satu pihak. Berbeda dengan Hanafi, ia lebih mempertimbangkan kemaslahatan umum dengan tetap memberi barometer pada adat atau kebiasaan yang terjadi. Maka, praktik tersebut sah apabila sudah menjadi adat kebiasaan yang menunjukkan pada kerelaan dan kehendak masing-masing pihak (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu). Pendapat ini cukup membuat saya terpukau, lantaran seakan ia mengejawantahkan sebuah nilai, bahwa Islam akan selalu turut menyambut dan beradaptasi dengan setiap perkembangan teknologi.

Contoh kedua, dapat kita lihat pada kebolehan perempuan untuk menjadi kadi. Saat revolusi Prancis, isu kesetaraan gender mulai digaungkan untuk pertama kalinya. Sejak saat itu, banyak kampanye dan kajian terkait wacana keperempuanan yang dibahas secara masif. Di antaranya adalah hak perempuan untuk tampil di ruang publik, yang mana dahulu hal tersebut masih tabu dan sangat ditentang oleh tradisi (Afifi, Asl Asy-Syubuhât wa Fasluhâ). Namun tidak dengan zaman kiwari, kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat telah berkembang. Tradisi tidak lagi mengekang dan membatasi hak-hak perempuan yang harus diterima sebagai sesama manusia. Hal tersebut juga turut didukung dengan kapabilitas perempuan yang sudah semakin teruji, lantaran kesempatan pendidikan yang sudah disetarakan. Sehingga perempuan yang berperan di ruang publik tidak lagi tabu sebab kualifikasinya yang telah memadai.

Selanjutnya, banyak orang yang mengkaji legalitas hukum tersebut melalui berbagai literatur. Di antara empat mazhab, hanya Abu Hanifah lah yang memperbolehkannya—selain urusan hudud dan kisas—, seolah ia mengetahui apa yang akan terjadi dan dibutuhkan di masa depan (Al-Babarti, Al-Inâyah Syarh Al-Hidâyah). Namun jelas bukan itu alasannya. Boleh jadi hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai latar belakang yang telah kita analisis di atas, sebagai pemicu pola pikir, metodologi, dan pendapat beliau dalam berfatwa. Sehingga pendapatnya dianggap lebih selaras dan relevan.

Melalui pemaparan ini, terlihat jelas kuatnya pengaruh lingkungan terhadap pandangan sesorang. Kondisi dan tantangan yang sama akan mengantarkan pada kebutuhan hukum dan metodologi yang sama pula. Rasa penasaran saya pun juga sudah terjawab, bahwa menariknya, meskipun Mazhab Hanafi dibentuk lebih awal dan otomatis lebih jauh masanya dengan zaman sekarang, akan tetapi hal tersebut tidak lantas menjadikannya konservatif dan usang. Bahkan ia justru lebih relevan dan efesien dalam menghadapi perkembangan zaman. Dengan ini, bukan berarti Abu Hanifah tidak berhati-hati dan cenderung menggampangkan hukum bagi setiap permasalahan. Akan tetapi, produk hukum atau fatwa yang ia hasilkan, bukan semata dari akal saja, melainkan juga hasil integrasi antara rasio dan teks agama—tetap mereferensi kepada Al-Qur’an dan hadis—dengan mengutamakan kemaslahatan sebagai pondasinya.

Wabakdu, Islam pada dasarnya mampu mengakomodir perkembangan zaman. Segala bentuk restrukturalisasi sosial, perkembangan teknologi, globalisasi, dan problematika yang dinamis menjadi tantangan baru bagi umat muslim untuk beradaptasi dan selalu mengintegrasikan ajaran Islam denganya. Hal tersebut juga menjadi bentuk upaya realisasi dari ungkapan al-islâmu shâlihun li kulli zamân wa makân.

Referensi:
- Afifi, Amr. Asl Asy-Syubuhât wa Fasluhâ. https://1-a1072.azureedge.net, 31 Agustus 2023.
- Al-Babarti, Akmal Ad-Din. 1970. Al-Inâyah Syarh Al-Hidâyah. Lebanon: Dar Al-Fikr. Vol. 7.
- Ar-Rahman, Muhammad Dhiya’. Dirâsât fî As-Sunnah An-Nabawiyyah. Madinah: Majalah Universtas Islam Madinah. (Maktabah Syamilah). Vol. 8, No. 23. 278-308.
- As-Sayis, Muhammad Ali. 2008. Târîkh Al-Fiqh Al-Islâmi, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Alamiyah.
- Az-Zuhaili, Wahbah. 1985. Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adillatuhu. Damaskus: Dar Al-Fikr. Vol. 5.
- Ziadeh, Farhat Jacob. 1957. Equality (Kafaah) In The Muslim Law Marriage. The American Journal of Comparative Law. Vol. 6, No. 4.

Redaktur: Nur Afidatus Sofiyah Ch.
Editor: M. Abda' Rifqi

Lebih baru Lebih lama