Syekh Khalid Al-Azhari; Pakar Bahasa yang Kesohor Berkat Dicaci dan Dihina

Syekh Khalid Al-Azhari; Pakar Bahasa Berkat Dicaci dan Dihina
Masjid Syekh Khalid Al-Azhari di Darrasah, Kairo

Menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Dengan ilmu, kesejahteraan umat akan tergapai. Ilmu berperan sebagai jati diri umat Islam. Semua orang berkewajiban menuntut ilmu. Namun realitanya, masih banyak orang yang tidak menghiraukan pentingnya ilmu dan lebih memilih bersantai serta rebahan. Kewajiban menuntut ilmu dimulai dari lahir sampai akhir hayat. Nahasnya, tak sedikit orang yang menghabiskan waktu secara sia-sia, sedari kecil hingga dewasa. Akibatnya, ia baru merasakan betapa pentingnya ilmu saat semuanya kedaluwarsa. Ia menyesal tidak menuntut ilmu semenjak masa kecil. Ketika menginjak dewasa, ia merasa gengsi membuka buku dikarenakan usianya yang sudah tua. Tentu anggapan seperti itu adalah anggapan yang salah kaprah. Lantaran menuntut ilmu sejatinya—sampai kapan pun—tidak mengenal usia. Namun, meski stigma seperti itu sudah meluas di masyarakat, masih ada pendekar-pendekar ilmu yang tak putus asa belajar meski usia mereka tak lagi muda. Salah satunya adalah Syekh Khalid Al-Azhari, sang pakar bahasa. 

Beliau bernama Khalid bin Abdullah bin Abi Bakr bin Muhammad bin Ahmad Al-Jarjawi Al-Azhari Asy-Syafii An-Nahwiyyi. Beliau diperkirakan lahir pada tahun 838 H di daerah Jarjah wilayah Sha’id Mishra. Beliau pindah ke Kairo ketika masih kecil bersama kedua orang tuanya. Khalid kecil—seperti anak-anak sebayanya—belajar membaca Al-Qur’an, Al-‘Umdah, dan Mukhtashar Abî Syujâ’. Setelah dewasa, ia bekerja sebagai waqqâd (petugas yang menyalakan petromaks) di Masjid Al-Azhar. Di masa-masa itulah ia mengalami suatu kejadian yang mengubah hidupnya. Juga lantaran peristiwa tersebut, nama Syekh Khalid pada akhirnya terkenal dan dikenang sejarah. 

Singkat cerita, pada kala itu ketika Syekh Khalid tengah mengerjakan tugasnya, terjadi sesuatu yang tak diduga. Beliau tidak sengaja menjatuhkan petromaks dan menimpa buku-buku salah satu pelajar di Masjid Al-Azhar. Pelajar tersebut tersulut emosi, marah. Lalu kemudian ia mencaci maki dan menghina Syekh Khalid. Pelajar itu mengatakan bodoh kepada Syekh Khalid karena menjatuhkan petromaks. Lantas bagaimana tanggapan Syekh Khalid? Apakah beliau marah? Tidak, beliau menerima dengan lapang dada. Akibat hinaan itu, beliau akhirnya bertekad untuk mulai mempelajari ilmu-ilmu yang ada di Al-Azhar. Beliau berguru dengan ulama-ulama Al-Azhar hingga nama beliau menjadi masyhur dan menjadi pakar bahasa Arab masa itu. 

Pena beliau membuahkan banyak kitab yang hingga kini dipelajari oleh para penuntut ilmu. Di antara karya-karya beliau ialah Al-Muqaddimah Al-Azhariyyah beserta syarahnya, I’râb Al-Ajurûmiyyah beserta syarahnya , Muwasshil At-Thullâb ilâ Qowâ’id Al-I’râb, Syarh Burdah Al-Bûshîrî wa I’râb Abyâtihâ, Tamrîn At-Thullâb fî Shinâ’ah Al-I’râb, At-Tashrîh bi Madlmûn At-tawdlîh yang merupakan syarah dari kitab Awdlah Al-Masâlik ilâ Alfiyyah ibn Mâlik, dan lain-lain. Sebagaimana gelar beliau sebagai pakar bahasa, kebanyakan kitab-kitab karangan beliau tidak lepas dari kaidah nahu. Dan hal itulah yang akhirnya menjadi ciri khas kitab-kitab beliau. Di samping itu, beliau juga ikhlas dalam menulis kitab. Sehingga dari keikhlasan itulah banyak manfaat yang ditemukan di kitab-kitab beliau. 

Syekh Khalid wafat pada tanggal 14 Muharram pada tahun 905 H setelah melaksanakan ibadah haji. Pusara beliau berada di Kairo, tepatnya di kawasan belakang Universitas Al-Azhar, Darrasah. Salah satu murid beliau, Al-Qasthalani, yang merupakan penyusun kitab Irsyâd As-Sârî ilâ Syarh Shahîh Al-Bukhârî, Juga dimakamkan dekat dengan pusara beliau. 

Dari kisah Syekh Khalid, kita bisa mengambil banyak hikmah. Salah satunya ialah bersemangat menuntut ilmu tanpa mengenal usia. Di usia berapa pun, asal ada keinginan serta niat yang kuat, maka Allah akan memudahkan jalan dalam menuntut ilmu. Juga merupakan suatu tamparan bagi kita, bahwa tidak ada kata terlambat untuk belajar dan tidak perlu tergesa-gesa dalam proses belajar. Karena jika tergesa-gesa, bisa jadi yang kita dapatkan malah kegagalan dalam meraih ilmu. Sebagaimana kaidah fikih; man ista’jala syai’an qabla ‘awânihi ‘ûqiba bi hirmânihi, barangsiapa yang tergesa-gesa memperoleh sesuatu, justru ia akan terhalang darinya.

Referensi:
Abu Bakr Al-Azhari, Khalid bin Abdullah. 2021. Syarh Burdah Al-Bûshîrî wa I’râb Abyâtihâ. Al-‘Asyir Min Ramadhan: Kasheeda Publishing.

Muhammad, Syihab Ad-Din Abi Al-Falah Abdillah Al-Hayy bin Ahmad Al-Hambali Ad-Dimasyqi. 1986. Syadzarât Adz-Dzahab fî Akhbâr Man Dzahab. Damaskus: Dar Ibn Katsir.

Redaktur: Akhmad Dwi Rismanto
Editor: Gelar Washolil Autho
Lebih baru Lebih lama