Muhammad Al-Ghazali—seorang ulama Mesir dan guru Yusuf Al-Qaradhawi—membedakan antara wasîlah dan ghâyah. Dia menjelaskan bahwasanya ghâyah memiliki relevansi tanpa akhir, sedangkan relevansi wasîlah bisa berubah dan berakhir. Dia mengklasifikasikan peraturan harta rampasan perang sebagai wasîlah, kendati peraturan tersebut disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur'an. Demikian juga Syekh Yusuf Al-Qaradhawi yang menganggap jilbab sebagai wasîlah untuk merealisasikan 'iffah bagi perempuan.
Diferensiasi antara wasîlah dengan ghâyah pada saat yang sama membuka aspek yang luas untuk pendapat yang orisinal dan baru dalam legislasi Islam. Syekh Thaha Jabir Al-Ilwani dalam bukunya Ishlâh Al-Fikr Al-Islâmi menjelaskan mengenai urgensi membedakan antara wasîlah dengan ghâyah dalam permasalahan kesetaraan gender dalam kaitannya dengan hukum. Dia menjelaskan, ketika Al-Qur'an menetapkan peran perempuan dalam pemberian saksi dalam akad sebagaimana termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 282, maka melalui hal tersebut Al-Qur'an memiliki tujuan untuk menghentikan peran konvensional perempuan dengan menjadikannya sebagai rekan yang setara bagi laki-laki. Mengikutsertakan perempuan sebagai saksi adalah media untuk tujuan penetapan ide kesetaraan gender.
Roger Garaudy—tokoh komunis Prancis yang mencoba mendamaikan antara Marxisme dengan agama Katolik—memiliki pemikiran yang serupa. Ia menganggap bahwa Al-Qur'an memiliki dua bagian. Bagian yang memiliki sisi historis seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan perempuan dan bagian yang merupakan nilai-nilai yang abadi di dalam Al-Qur'an (ahistoris). Fenomena sejarah dan sebagian hukum fikih dalam Al-Qur'an seyogianya dipahami berdasarkan bingkai sejarah, kebudayaan, dan geografi risalah Islam. Kunci dalam memahami nas tersebut dengan membedakan antara wasîlah yang dinamis dan ghâyah yang statis, yang membuat kita bisa menerapkan nas Al-Qur'an secara sempurna pada setiap waktu dan tempat. Namun, konsekuensi historisitas Al-Qur'an bisa memunculkan anggapan bahwa Al-Qur'an adalah produk sejarah yang akhirnya mengaburkan sisi keimanan.
Pembacaan tematik terhadap Al-Qur'an berasas pada pandangan bahwa Al-Qur'an adalah satu kesatuan yang saling melengkapi. Berdasarkan pada perspektif universalisme, ayat-ayat hukum yang berjumlah ratusan meluas hingga mencakup keseluruhan Al-Qur'an. Surah dan ayat yang membicarakan perihal akidah, kisah nabi, dan akhirat memiliki peranan dalam pembentukan hukum-hukum fikih.
Pembacaan tematik juga bisa diterapkan pada hadis-hadis nabi. Hal itu dengan cara memperlakukan hadis menurut asas temanya melalui memahami kehidupan nabi berdasar sudut pandang maqâshid. Melalui metode tersebut, seorang peneliti akan meninjau keabsahan suatu hadis tentang kesesuaiannya dengan nilai dan prinsip Islam yang sudah jelas. Untuk penetapan keabsahan suatu matan hadis, seorang peneliti harus memperhatikan kecocokan hadis tersebut dengan prinsip Islam.
Metode yang berlandaskan pada maqâshid mampu untuk menutup lubang utama dalam periwayatan hadis. Lubang yang dimaksud adalah hilangnya konteks dan korelasi karena mayoritas hadis tidak disertai dengan penyebutan konteks sejarah, sosial, politik, dan ekonomi. Perspektif universalisme membantu kita untuk melengkapi kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk memahami hadis yang umum dan khusus dengan berpedoman pada pemahaman maqâshid asy-syarî'ah.
Editor: M. Abda' Rifqi