AI dan Santri: Teman atau Ancaman?

AI dan Santri: Teman atau Ancaman?

Pada era digital yang semakin maju, teknologi AI (Artificial Intelligence) menjadi topik yang menarik perhatian banyak orang. Teknologi ini menggabungkan kecerdasan buatan (AI) dengan kemampuan manusia untuk menciptakan sistem yang memiliki kinerja luar biasa. Berbeda dengan Google yang membantu manusia menjawab pertanyaan, AI merupakan alat bantu manusia untuk berpikir lebih cerdas dan cepat. James Guszcza dalam jurnalnya ‘Why Artificial Intelligence Needs Human-centered Design?’ membagi AI menjadi dua kategori, yaitu AI untuk automation dan AI untuk augmentation.

AI untuk automation adalah kecerdasan buatan yang berfungsi mengotomatiskan pekerjaan manusia. Salah satu contohnya ialah RPA (Robotic Process Automation), perangkat lunak yang meniru tindakan manusia dalam berinteraksi dengan perangkat digital. Kehadiran RPA mampu menggantikan posisi manusia dalam berbagai aspek, di antaranya yaitu menginterpretasikan teks, memprediksi pasar saham, dan membuat keputusan bisnis. Hingga saat ini, banyak rumah sakit, bank, lembaga asuransi, dan perusahaan besar lainnya yang lebih memilih menggunakan RPA daripada mempekerjakan manusia. Hal ini dikarenakan RPA dapat memperkecil kesalahan operasional, mempercepat pekerjaan, dan menghemat biaya hingga 65%. Meski demikian, RPA tidak serta merta menghapuskan peran manusia. Sebab dengan adanya RPA, manusia dapat lebih fokus berinovasi, berimajinasi dan berkreasi tanpa perlu memperhatikan proses pendataan yang menjenuhkan. 

Berikutnya yaitu AI untuk augmentation, atau kecerdasan buatan yang dapat mempercepat pemikiran manusia. Berbeda dengan sebelumnya, AI jenis ini masih menggunakan desain yang berpusat pada manusia. Salah satu bentuk kerjanya yakni sebagaimana praktik hukum Kasparov. Hukum Kasparov sendiri diambil dari nama juara catur dunia, Garry Kasparov. Di mulai pada tahun 1997, untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia, pemain catur terbaik selama 19 tahun berturut-turut, terkalahkan oleh mesin catur IBM Deep Blue. Selanjutnya pada tahun 2005 digelar kembali pertandingan catur bertajuk Freestyle Chess. Pertandingan ini dimenangkan oleh pemain catur amatir yang berkolaborasi dengan 3 komputer menggunakan proses superior. 

Dari sini Kasparov mengambil kesimpulan, bahwa ahli catur dunia maupun komputer paling canggih sekalipun akan terkalahkan oleh kombinasi di antara keduanya. Sebab perpaduan antara manusia dan mesin terbukti mampu mengungguli manusia terpintar ataupun mesin terbaik. Perpaduan ini bukanlah sesuatu yang akan terjadi di masa depan, melainkan telah terjadi pada saat ini. Manusia tidak bisa memilih kapan kemajuan teknologi terhenti, maupun kapan manusia mampu mengungguli teknologi. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah bergabung dengan teknologi, sebab manusia butuh teknologi untuk mewujudkan impian-impian besarnya.

Melalui penjelasan di atas, diketahui bahwa AI memiliki andil yang besar dalam perkembangan dunia.  Sejak tahun 1956, John Mc Carthy dan para ilmuwan komputer lainnya mulai menciptakan kecerdasan buatan (AI) yang dibentuk dari 800.000 sel otak manusia. Lalu berlanjut pada tahun 1985, AI kembali menarik perhatian, setelah James Skinner mendemonstrasikan kepada Kaisar Hirohito, sebuah musik klasik original ciptaan teknologi AI. Hingga kini, AI terus mengembangkan kemampuannya, seperti menavigasi pesawat tempur, menganalisis emosi seseorang, memprediksi lalu lintas, dll. Maka merupakan suatu yang lazim, jika di masa depan buku best seller yang tersusun di etalase toko buku bukanlah karya manusia, melainkan hasil tulisan AI. Juga musik-musik yang bertengger di Billboard Hot 100 tidak lagi karya seseorang, tetapi ciptaan komposer AI. 

Melihat kondisi dunia yang semakin bertransformasi ini, manusia dituntut menghadapi pelbagai tantangan yang signifikan, tak terkecuali para santri. Salah satu tantangan utama yang dihadapi para santri adalah bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat. Santri perlu mempertahankan identitas keislaman mereka di samping memanfaatkan kemajuan teknologi. Seperti penggunaan aplikasi Deep Face untuk membuat konten palsu berupa wajah, gerakan, dan emosi. Dr Ali Gomaa dalam pernyataannya yang dikutip m.youm7.com memperbolehkannya selama tidak mengatasnamakan Nabi Muhammad, dan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga (mubassyirīn) pada gambar tersebut. Batasan semacam ini yang patut diketahui para santri sebelum mengaplikasikan teknologi AI.

Berbicara mengenai tantangan, pasti tak lepas dari kata peluang. Meski AI telah mengoyak laku kehidupan manusia juga para santri, namun bukan berarti tidak ada peluang bagi santri untuk menaklukkan AI. Hemat saya, peluang itu akan didapatkan jika santri berpikir terbuka dan kritis akan perkembangan teknologi AI. Jamak diketahui bahwa para santri cenderung lebih tertinggal dalam mengaplikasikan teknologi daripada masyarakat umum. Hal ini dikarenakan penggunaan gawai dan perangkat lunak lainnya yang terbatas selama santri masih menempuh pendidikan di pesantren. Meski demikian, tidaklah dibenarkan sikap apatis seorang santri akan kemajuan teknologi. Sebab dari lingkungan pesantren, sikap adaptif, kepedulian, dan responsif terbentuk. Maka sepantasnya sikap tersebut dipraktikkan kembali ketika santri menghadapi perubahan teknologi di era digital. 

Dalam mengimplementasikan sifat keterbukaan pemikiran ini, santri dapat mengolaborasikan teknologi AI dengan kebutuhan di pesantren. Semisal menggunakan AI sebagai alat bantu menghafalkan Al-Qur’an. Dengan munculnya teknologi AI, diharapkan membantu santri melacak kemajuan hafalan Al-Qur’an, memberikan saran ayat atau surat yang perlu di-murajaah, dan mengetes hafalan. Ini bukan gebrakan baru yang sukar untuk direalisasikan, mengingat Universitas Al-Azhar Mesir telah menerapkan ujian hafalan Al-Qur’an berbasisi komputer. Maka seyogyanya santri mulai memikirkan terobosan-terobosan lain terhadap teknologi AI guna menyongsong pembelajaran agama di kalangan pesantren.

Wabakdu, AI bukanlah hal remeh yang dapat dihindari pada era Super Human ini. Masifnya penggunaan teknologi AI bahkan telah menghapuskan pelbagai mata pencaharian di muka bumi. Jika dahulu manusia berlomba-lomba supaya cerdas, tetapi sekarang orang tidak pernah sekolah pun mampu terlihat cerdas dengan bantuan AI. Meski mampu meniru kecerdasan manusia, namun tidak dengan karakter manusia. Banyak perubahan besar di dunia ini yang masih krisis moral. Oleh karenanya, peran santri dalam mengawasi perkembangan AI merupakan sesuatu yang krusial. Sedangkan untuk mengawasinya, tidak cukup dengan mengetahui apa itu AI, melainkan perlu mengoptimalkannya sebagai sarana dalam beraktivitas sehari-hari. Dengan demikian, kontribusi yang diberikan santri akan lebih impresif, tidak sebatas kicauan belaka.

Oleh: Ardelia Nihlah Ilahi
(Peraih juara 2 lomba karya tulis esai/opini dalam rangka II Dekade Harlah Fismaba Mesir)
Lebih baru Lebih lama