Bagian 3: Kiprah dan Uswah Masyâyikh Bahrul Ulum

Bagian 3: Kiprah dan Uswah Masyâyikh Bahrul Ulum
Menara Masjid Jami' Pondok Pesantren Bahrul Ulum

Dawuh Masyayikh

Selama saya mondok, dawuh yang sering saya dengarkan dari masyâyikh Bahrul Ulum Tambakberas adalah sebuah hadis:

خير الناس أنفعهم للناس

"Sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi sesama manusia"

Baca juga Bagian 2: Kiprah dan Uswah Masyâyikh Bahrul Ulum

Hadis ini ternyata sangat luas maknanya. Sedikit yang bisa saya jabarkan dari arti penting  penghayatan hadis ini, yang mana selalu disampaikan oleh masyâyikh kita dalam berbagai kesempatan; dalam konteks mereka sebagai uswah yang mempunyai kiprah, dan konteks kita sebagai santri yang membutuhkan inspirasi dan mauizah. Mauizah bermakna pengingat, nasehat, atau sesuatu yang membuat hati menjadi lembut dan menerima kebenaran. 

Saya ingin mengurai makna hadis tersebut dalam bingkai kajian seorang wartawan bernama Hatim Ibrahim Salamat (lahir tahun 1978 M) dalam buku berjudul Khair An-Nâs Anfa'uhum li An-NâsHadis ini bermakna:

1. Hidup untuk orang lain

Jika seseorang ingin merasakan kebahagiaan yang maksimal selama hidup di dunia, maka sebarkan manfaat kepada orang lain. Semua potensi yang kita miliki adalah sarana untuk berbagi, baik berupa materiel ataupun morel. Seorang santri telah diajarkan untuk meyakini bahwa semua kenikmatan yang kita dapatkan adalah pemberian dan anugerah dari Sang Maha Pencipta.  

2. Khidmah kepada manusia adalah ibadah

Suatu saat sahabat Abdullah bin Abbas RA sedang beribadah iktikaf di dalam masjid, lalu datanglah seorang laki-laki yang terlihat raut kesedihan di mukanya. Ibnu Abbas lalu menanyakan, “Kenapa engkau bersedih, Wahai Fulan?” Laki-laki itu menjawab: “Betul, Wahai Sepupu Rasulullah. Aku punya hutang kepada seseorang yang sudah jatuh tempo, sedangkan aku tidak punya apa pun untuk membayarnya”. Ibnu Abbas berkata, “Kalau kamu mau, aku akan memberitahukan pada orang itu agar dia bersabar dan memberimu tempo baru”. Kemudian Ibnu Abbas memakai sandal lalu pergi. Laki-laki itu bertanya, “Apa engkau melupakan sesuatu (iktikaf) sehingga engkau akan meninggalkannya?” Ibnu Abbas menjawab, “Aku mendengar bahwa pemilik kubur ini (Rasulullah SAW) berkata, 'Barang siapa yang pergi untuk memenuhi kebutuhan saudaranya, dan dia sepenuh hati berusaha memenuhi kebutuhannya, maka hal itu lebih baik daripada orang yang iktikaf selama 10 tahun'". Hal itu karena iktikaf bermanfaat secara pribadi, sedangkan khidmah kepada sesama manusia bermanfaat secara luas bagi masyarakat. Dalam sebuah kaidah:

المتعدي أفضل من القاصر

"Ibadah yang memberi manfaat banyak orang lebih utama daripada ibadah yang hanya dinikmati oleh diri sendiri". Tentunya dalam konteks selain ibadah wajib.

3. Tanda manusia pilihan 

Manusia yang mencurahkan sebagian besar waktunya untuk melayani masyakarat, maka dia akan diangkat derajatnya di hadapan Allah SWT dan di hadapan manusia. Tentu dengan bekal sifat amanah dan fatanah. Kisah Nabi Ibrahim AS yang dengan senang hati selalu menjadikan unta-untanya sebagai bahan makanan untuk masyarakat, dan dengan senang hati melayani dengan tangan beliau sendiri bukan melalui tangan budak-budaknya, dan menyertakan istri beliau untuk menyiapkan pelayanan itu; menjadikan beliau dan anak turunan beliau diangkat derajatnya sebagai orang-orang yang mulia di sisi Allah SWT dan di sisi manusia.

سيد القوم خادمهم

"Pemimpin masyarakat adalah pelayan mereka".

Sebagai sebuah lembaga pendidikan yang berumur 2 abad, Tambakberas telah memberikan uswah tentang bagaimana seyogianya seorang santri memberi manfaat. Manfaat kepada sesama manusia bisa bermakna sangat luas dan tidak  terbatas pada hal-hal tertentu saja. Seorang santri, dalam dimensi yang berbeda-beda, diharapkan tetap memberi manfaat walau di lingkungan yang tidak baik sekalipun. Prinsip "ikan yang tetap tawar di lautan asin" yang pernah disampaikan Mbah Wahab Hasbullah, Pendiri Bahrul Ulum dan Penggerak Nahdlatul Ulama, tentu dijadikan pedoman preventif saat gelombang pengaruh buruk melingkupi kehidupan seorang santri. Dia harus tetap bersih dan tawar walau di air yang kotor. Prinsip ini relevan dipegang di mana pun berada. Santri Tambakberas yang meneruskan kuliah menimba ilmu di lembaga pendidikan mulia seperti Al-Azhar di Mesir adalah sebuah jalan yang tepat. Ibarat selesai menyelam di lautan ilmu (Bahrul Ulum) lalu melanjutkan di sumber ilmu (Al-Azhar). Sungguh perjalanan yang tidak pernah terpuaskan. Semoga berkah dan pulang ke tanah air menyebarkan ilmu yang didapatkan (nasyril 'ilmi).

Oleh: KH Abdul Wahab Naf'an
(Penulis merupakan santri KH M. Djamaluddin Ahmad di Bumi Damai Al-Muhibbin yang saat ini diteruskan oleh putra beliau KH M. Idris Djamaluddin)
Editor: M. Abda' Rifqi

Lebih baru Lebih lama