Membaca Konflik Rempang; antara Pembangunan dan Keadilan Agraria

Membaca Konflik Rempang; antara Pembangunan dan Keadilan Agraria

Ini tanah airmu
Di sini kita bukan turis
—Wiji Thukul

Potongan bait yang terambil dari puisi berjudul “Sajak kepada Bung Dadi” karya Wiji Thukul di atas banyak saya temukan di pelbagai medium seperti kaus, mural, tas jinjing, stiker, dan sejenisnya. Sepintas lalu, setelah menemukan potongan bait tersebut, saya berusaha menghadirkan memori jangka pendek saya terkait konflik agraria di Pulau Rempang yang sebulan terakhir ramai diangkat dan dibicarakan oleh sejumlah media arus utama Indonesia. Setelah menganalisis sejumlah fakta dan opini yang bertebaran di media massa, saya berkesimpulan bahwa konflik agraria di Indonesia telah mencapai taraf yang mengkhawatirkan. Setidaknya, kesimpulan tersebut saya dapatkan setelah mengulik rentetan kasus konflik agraria yang sewindu terakhir terjadi di Indonesia.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan bahwa selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, konflik agraria di Indonesia mengalami kenaikan angka yang cukup signifikan. Tercatat, dalam kurun waktu delapan tahun (2015—2022), Indonesia mampu mengantongi sebanyak 2.710 konflik agraria dengan varian kasus yang menyasar pelbagai sektor meliputi perkebunan, kehutanan, pembangunan infrastruktur, pertanian korporasi, dan seterusnya. Buntut dari persoalan tersebut, 1,04 juta hektare tanah dan 346.402 kepala keluarga yang tersebar di berbagai wilayah, menjadi imbas-kompulsif dari konflik agraria yang seolah tidak pernah hengkang dari Indonesia. Paparan data di atas sedikit banyak telah menyentak bawah sadar saya untuk mengkaji kasus Pulau Rempang secara lebih serius. 

Secara kronologis, kasus Pulau Rempang terjadi akibat adanya konflik kepentingan antara aparat pemerintah dan masyarakat adat. Pada mulanya, Badan Pengusahaan (BP) Batam—dulunya bernama Otorita Batam—berupaya melakukan pematokan tanah, pengosongan lahan dan relokasi terhadap masyarakat setempat yang mendiami 16 kampung tua Pulau Rempang. Masyarakat adat yang tersebar di 16 kampung tua tersebut, melansir Kompas.id, diperkirakan mencapai 700 keluarga. Upaya relokasi dimaksudkan sebagai tindak lanjut atas proyek pembangunan dan pengembangan Rempang Eco-City meliputi kawasan industri, jasa dan pariwisata yang terintegrasi. Namun, upaya relokasi yang dilakukan BP Batam ditolak dan ditentang keras oleh masyarakat adat. Puncaknya, bentrokan antara aparat gabungan dan warga Pulau Rempang pada Kamis, 7 September tidak dapat terhindarkan.

Meski telah diklarifikasi oleh sejumlah pihak seperti Menkopolhukam, M. Mahfud MD bahwa apa yang dilakukan oleh BP Batam tidak lebih dari sekadar pengosongan lahan, nyatanya tidak sedikit masyarakat lokal yang mengalami kekerasan dan penggusuran paksa. Hal tersebut diperkuat oleh fenomena penggunaan gas air mata oleh Polri secara tidak prosedural sehingga menyasar lokasi yang tidak jauh dari gerbang sekolah SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang.  Selain itu, berdasarkan keterangan warga setempat, terdapat sekitar 60 kendaraan dan 1010 personel gabungan yang terdiri dari polisi, TNI, Satpol PP dan Ditpam BP Batam yang dikerahkan untuk mengakselerasi proses penggusuran paksa tersebut.

Jikalau kita merunut kasus dari tahun ke tahun, konflik agraria yang terjadi di wilayah Sumatera sebetulnya memiliki pola yang hampir sama berupa klaim masyarakat adat terhadap perusahaan dan/atau pemerintahan. Tentu, sebuah konflik mengandaikan adanya dua subjek aktif yang saling bersitegang untuk memperjuangkan kepentingannya. Berkaca pada kasus Pulau Rempang, saya mengasumsikan masyarakat adat dan pemerintah sebagai dua pelaku aktif tersebut. Sebagai representasi pemerintah, BP Batam diuntungkan sebab memiliki potensi dan kuasa dominan untuk menekan masyarakat adat. 

Konsekuensinya, serangkaian cara dapat diupayakan untuk memuluskan dan meluluskan kepentingan pemerintah. Dalam kasus Pulau Rempang misalnya, untuk melakukan relokasi—untuk tidak mengatakan “penggusuran paksa”, pemerintah hanya perlu mengklaim masyarakat adat di sana sebagai warga ilegal berdasarkan bukti sertifikat. Padahal, apabila diselisik lebih mendalam, secara fakta historis, alih-alih dianggap ilegal, masyarakat adat justru jauh lebih dulu menempati Pulau Rempang sebelum Indonesia merdeka. Artinya, sebelum diterapkannya sistem sertifikasi, masyarakat adat sudah beranak-pinak dan menjalani kehidupannya di Pulau Rempang. 

Selain itu, adanya tindakan repsesif yang dilakukan oleh aparat keamanaan juga mengindikasikan preferensi pemerintah yang terkesan kekeh, ngoyo, dan arogan untuk “menyurihkan jalan” kepentingannya. Ketimbang menyemprot gas air mata—yang justru semakin memantik kemarahan publik, pemerintah seharusnya dapat mengupayakan seragam proses yang jauh lebih bijak seperti menempuh jalur negosiasi. Terlebih, secara fungsi negosiasi dirasa dapat memenuhi tuntutan dan kepuasan semua pihak yang berkepentingan, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Dengan demikian, segala potensi yang mengarah kepada konflik dapat lebih dikendalikan dan diminimalisir. 

Cukup membosankan sebetulnya mendengar konflik agraria diulang-ulang setiap tahunnya di Indonesia. Analisis prediktif Homer-Dixen yang disitasi dalam tulisan Robert D Kaplan (The Coming Anarchy: How Scarty, Crime, Overpopulation.,) sekitar tiga dekade yang lalu sepertinya memang benar-benar menemukan momentumnya di Indonesia. Ia menyebutkan bahwa negara-negara seperti Indonesia di abad 21 berpotensi mengalami kenaikan konflik sumber daya alam—yang menjadi muara konflik agraria. Lebih lanjut, Kaplan menyebutkan bahwa selain disebabkan oleh meningkatnya populasi dan menurunnya sumber daya alam, eskalasi konflik agraria juga dilatari oleh seragam proses demokratisasi yang tidak kunjung berpihak pada keadilan. Tentu, pembacaan tersebut menjadi semakin jelas dan nyata apabila kita aplikasikan dan kontekstualisasikan dalam lanskap keindonesiaan.

Saya kira supaya konflik agraria tidak semakin menjadi-jadi di Indonesia—meskipun sebenarnya sudah sangat kronis, pemerintah sebagai subjek dominan harus tetap menampakkan watak sosialis yang merefleksikan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, dalam mengambil sebuah kebijakan, pemerintah harus tetap memperhatikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat adat. Jangan sampai kewajiban pemerintah untuk mengupayakan pembangunan yang merata, justru mengabaikan kewajiban lainnya untuk mewujudkan keadilan agraria di Indonesia. Dalam hal ini, idealisme pemerintah harus ditimbang dan disesuaikan dengan apa yang oleh masyarakat adat dianggap realistis dan maslahat. Saya khawatir apabila pemerintah terus-terusan menuruti preferensinya, potongan bait Wiji Thukul di muka akan semakin memperjelas laku pemerintah yang “bermuka dua”; antusias terhadap investor luar, tetapi sinis terhadap rakyat sendiri. Tabik!

Oleh: Muhammad Jihan Muqodas
(Peraih juara 1 lomba karya tulis esai/opini dalam rangka II Dekade Harlah Fismaba Mesir)
Lebih baru Lebih lama