Surat Untuk Komandan

Surat Untuk Komandan

Asri dan Anto bersama tiga anaknya tinggal di sebuah kompleks yang terbilang istimewa. Tidak sembarang golongan dapat menempatinya. Kompleks dengan bentuk bangunan yang seragam dan berlatar hijau khas yang seragam pula. Penduduknya disiplin, keamanan juga terjamin, dan kerekatan hubungan antar tetangga sudah seperti keluarga sendiri. Itulah yang dirasakan Asri dan keluarganya saat menetap di kompleks tersebut dalam beberapa tahun.

Sedikit gambaran nikmatnya menjadi keluarga abdi negara.

Anto adalah Sersan Mayor yang dikenal akan kedisiplinannya, keramahannya pada prajurit yang lain, dan kedermawanannya yang tidak pernah tanggung-tanggung. Sehingga dia memiliki 'nama' yang jika orang menyebutnya tidak ada rasa geram di hati.

Setiap pagi di hari libur dinasnya, Anto akan mengajak ketiga anaknya untuk berolahraga. Menyusuri setiap sudut kompleks sampai pada sebidang halaman luas tempat orang-orang biasa meregangkan ototnya. Selain itu, Anto akan mengajak keluarganya untuk mencicipi kuliner di pasar malam. Mereka berpindah dari satu lapak ke lapak lainnya. Lain waktu, sekadar melihat pemandangan bumi dari atas bukit adalah salah satu keputusan yang mereka sukai. Terkadang, mengajak mereka memancing ikan di kolam dan menyantap bakaran hasil tangkapan mereka, duduk di gazebo sembari menyaksikan keluarga lain berusaha mendapatkan ikan. Kadang kala, mereka hanya menghabiskan waktu dengan saling bertukar cerita di ruang keluarga yang hangat.

Jika ada rezeki lebih, Anto dan keluarganya akan mengadakan ramah-tamah bersama para tetangga. Mereka menyiapkan beberapa menu lezat lalu bercengkerama sambil melontarkan guyonan. Sesekali, suara tawa menggelegar dari masing-masing individu yang hadir.

***

"Saya ditugaskan di Medan selama 3 bulan," ujar Anto sembari merapikan piring di atas meja makan.

"Apakah tidak bisa mengajukan penugasan di sekitar Sulawesi saja?" Asri sedikit protes.

"Tidak bisa. Komandan yang mengutus langsung."

"Baru saja sebulan bertugas di Sulawesi Tengah, mengapa harus dinas di pulau lain lagi?"

"Ayolah, kau sudah pernah kutinggal berdinas ke Surabaya. Bukankah kau sudah mampu mengatasinya?"

Asri tidak bisa membantah lagi. Karena seribu permohonannya pun akan kalah dengan satu perintah dari komandan. Asri tidak ingin melakukan hal yang tidak akan merubah keadaannya.

"Kapan jadwal penerbangan ke Medan?"

"Sekitar tiga hari lagi."

"Baiklah, saya akan bantu menyiapkan."

Setelah membereskan meja makan, Asri membantu mempersiapkan kebutuhan Anto selama berdinas. Sambil memasukkan baju dan perlengkapan ke dalam koper, Asri memikirkan kata-kata untuk dia sampaikan kepada tiga putra-putrinya agar tidak kecewa.

Hari keberangkatan tiba. Asri dan putra-putrinya mengantar Anto ke bandara. Sedari rumah, Asri menautkan alisnya dan sedikit berwajah masam, sebenarnya dia sangat berusaha untuk menutupi ekspresinya itu. Namun, ketika melihat istri para prajurit lainnya melakukan hal yang sama, maka Asri pun mengurungkan usahanya. Barangkali ekspresi itu cukup mewakili keengganan mereka dan tersampaikan kepada komandan.

"Hanya tiga bulan," harap Anto menenangkan istrinya.

"Jika tidak lebih."

"Semoga tidak."

Mohon perhatian. Penumpang Air Lines dengan nomor penerbangan G20X tujuan Medan, dipersilakan naik ke pesawat udara melalui pintu nomor 3. Dimohon persiapkan Boarding-pass Anda dan pastikan Anda membawa semua barang bawaan Anda. Terima kasih. Suara pegawai bandara mengingatkan para penumpang.

"Saya berangkat, jaga diri baik-baik. Saya akan sering menelepon kalian."

Bendungan air di mata anak-anaknya bocor, Asri menguatkan dirinya sekuat benteng untuk menahan air matanya. Dia berusaha percaya pada dirinya sendiri untuk bisa menjalani kehidupan dengan mandiri selama suaminya berdinas. Meski sebenarnya, dia sangat ingin ikut Anto pindah dinas bersama anak-anaknya.

Sepuluh pekan berjalan dengan normal dan sepi. Tinggal dua pekan lagi kepulangan suaminya. Penantian yang sangat ingin diakhiri. Di atas meja, bergetar nada dering yang panjang dari gawai. Asri mengangkat alat elektronik tersebut dengan mata berbinar-binar.

"Kabar baik apa yang akan kau sampaikan? Saya akan menyambut kepulanganmu kapan saja. Besok pun saya siap." Asri menyerang kata-kata kepada suaminya.

"Kemarin komandan baru saja mengabari, bahwa akan ada pelatihan penerbangan di Medan. Kami diharapkan mengikutinya." Anto menyampaikan dengan berat dan hati-hati.

Hilanglah senyum merekah dari wajah Asri.

"Sampai kapan pelatihan itu?"

"Waktu tak dipastikan dengan jelas."

"Dua tahun?"

"Bisa jadi, atau bahkan lebih."

"Bisakah kau membuat surat penolakan untuk perintah komandanmu? Ditandatangani oleh seluruh prajurit yang keberatan dengan tambahan waktu bertugas ini. Ini terlalu lama!"

"Kami tidak sedang belanja barang pasar yang bisa ditawar."

"Baiklah jika seperti itu." Asri pun hanya bisa pasrah.

Tak terasa, dua tahun berlalu. Anak sulung Asri dan Anto masuk bangku Sekolah Menengah Atas. Belum juga ada kabar kepindahan dinas Anto ke Sulawesi. Sedangkan anak bungsunya naik kelas 2 Sekolah Dasar. Anak tengahnya naik kelas 6 Sekolah Dasar. Saat mereka pulang, si Tengah bilang kepada Asri.

"Bu, si Bungsu membuat surat. Katanya isinya tentang cita-citanya. Tapi aku tidak boleh melihatnya, Bu."

"Bungsu, boleh ibu melihat surat yang kau tulis?"

Sedikit ragu, si Bungsu mengeluarkan secarik kertas lusuh dari tas ransel merah mudanya. Diberikannya kepada Asri.

"Nama saya Andin. Saya berumur 7 tahun. Cita-cita saya menjadi seorang komandan. Karena jika saya menjadi prajurit negara, saya akan ditugaskan di luar daerah oleh komandan, dan saya harus meninggalkan ibu serta saudara saya di rumah untuk waktu yang cukup lama. Lebih enak jika saya yang memerintah."

***

“Ibu, besok Andin libur dinas satu bulan. Adakah tempat yang ingin ibu kunjungi?”

“Ibu ingin mampir ke rumah kakak-kakakmu, bermain bersama cucu-cucu ibu.”

“Lusa kita ke rumah Kak Sulung ya, Bu. Lalu kita ajak juga keluarga Kak Tengah. Kita akan terbang ke Sumatera. Menikmati semilir angin di Danau Toba.”

“Boleh. Sebelum itu, kita mampir ke Medan dulu. Bersilaturahmi dengan teman-teman dinas ayah di Medan, lalu ziarah ke makam ayah."

“Pasti, Bu.”

***

Tiga tahun setelah Kakak Tengah menikah, Anto mengirim kabar bahwa dia sedang dirawat di rumah sakit Sulawesi. Sudah tiga pekan ujarnya. Asri sangat khawatir, karena pada saat Anto pulang selama sepekan untuk menikahkan Kakak Tengah, terdengar beberapa keluhan nyeri di bagian dadanya. Asri ingin bergegas ke Medan saat itu, namun Anto melarang dengan alasan teman-temannya menjaganya dengan baik di rumah sakit. Beberapa pekan kemudian, berita buruk sampai pada telinga keluarga Asri. Bergegas mereka menerobos langit untuk sampai ke Medan, melihat wajah pahlawan hati untuk terakhir kali.

Nama saya Andin. Saya berumur 24 tahun. Saya seorang Kepala Pusat Psikologi TNI di Sulawesi. Saat naik pangkat, nama saya menjadi Laksamana Muda TNI Dr. Andini Apriliani, S.Psi., M.Si. Hadiah ini saya tujukan untuk komandan keluarga saya yang diharapkan sedang menyaksikan dari atas langit. Saya akan sering berkunjung ke tempat peristirahatanmu, melihatmu dari atas bumi Medan, Komandan!

Oleh: Zadjuria Rizky
(Peraih juara 1 lomba karya tulis cerpen dalam rangka II Dekade Harlah Fismaba Mesir)
Lebih baru Lebih lama