Bahasa adalah cara terbaik yang digunakan seseorang untuk mengungkapkan dirinya. Mulai dari isi hati nurani, sesuatu yang tersimpan dalam benak, apa yang dirasakan oleh naluri, sampai emosi. Bahasa juga menjadi identitas manusia, baik personal maupun kelompok tentang bagaimana gambaran intelektual yang dimilikinya.
Adapun kata “sastra” telah mengalami perubahan dari makna asli dengan proses yang cukup unik. Sastra itu sendiri dalam bahasa Arab adalah adâb, dimulai dari memiliki arti “sebuah ajakan untuk makan”, dan pada masa datangnya Islam hal itu berganti sebagaimana sabda Nabi SAW: “Addabanî Rabbî fa ahsana ta’dîbî” yang mengandung makna moralitas. Kemudian pada abad ke-2 atau ke-3, barulah kata adâb mulai mengandung arti kesusastraan, hingga memunculkan definisi akhir sastra adalah hasil kreativitas manusia yang berhasil dituangkan dalam media bahasa, baik secara lisan maupun tulisan.
Hal ini menunjukkan bahwa sastra mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Sebagaimana genre sastra yang dahulu hanya terbatas puisi (al-mandzûm) dan prosa (al-mantsûr), kini bertambah dengan adanya drama (al-masrahiyyah) dan lain sebagainya. Salah satu urgensi sebuah sastra adalah mampu menjadi dokumenter bagaimana intelektual suatu bangsa setempat pada zamannya. Dalam hal ini, identitas sebuah bangsa memang dapat dilihat dari bagaimana bahasa dan sastranya. Seperti bahasa dan sastra Arab yang menjadi dokumenter serta potret intelektual bangsa Arab dari masa ke masa.
Tersebab pentingnya bahasa dan sastra, Al-Azhar sebagai lembaga pembelajaran tertua di dunia mulai terpantik untuk memperhatikan bagaimana perjalanan bahasa dan sastra di Al-Azhar berdinamika. Sejak awal Al-Azhar berdiri, ilmu yang dipelajari tidak terbatas hanya pada ilmu-ilmu agama, namun juga terdapat beberapa diskursus yang salah satunya adalah bahasa dan sastra.
Pada mulanya, peminat diskursus bahasa dan sastra di Al-Azhar sangat sedikit, karena sebagian besar pelajar pada saat itu lebih menginginkan belajar ilmu syariat. Sehingga tidak heran jika banyak dari mahasiswa yang akhirnya tidak mampu membuat esai atau karya tulis berbahasa Arab. Menanggapi fenomena tersebut, Al-Azhar pun memberikan perhatian khusus, serta sokongan untuk para pelajar agar terus mempelajari bahasa Arab, dan tetap menulis esai, atau karya-karya ilmiah berbahasa Arab.
Al-Azhar memainkan perannya terhadap kemajuan dan kebangkitan kesusastraan. Dimulai pada masa dinasti Fatimiyah, dinasti Ayyubiyah, hingga masa dinasti Mamluk setelah adanya bencana, dan runtuhnya Bagdad di bawah kekuasaan Tatar. Pada zaman itu, bahasa Arab hampir punah karena pemerintahan Tatar membakar dan membabat habis kitab-kitab para ulama. Tidak berhenti sampai di situ, pemerintahan Tatar juga membantai para ilmuwan, dan menutup paksa madrasah-madrasah yang ada.
Kemudian Al-Azhar mengambil peran dengan mengutus para cendekiawan-cendekiawan, di antaranya para pakar kebahasaan seperti Al-Imam Jamal Ad-Din bin Manzur pengarang kitab Lisân Al-‘Arab, Al-Imam Baha’ Ad-Din As-Subuki pengarang kitab ‘Arûs Al-Afrâh, dan lain-lain, untuk menerangi dunia dengan keilmuan mereka. Begitu juga ketika masa Utsmani; Turki berusaha memerangi dan menghapus bahasa Arab, lalu menggantinya dengan bahasa Turki, di sinilah peran Al-Azhar kembali menyeruak. Al-Azhar beserta para ulamanya tetap berusaha menjaga orisinalitas bahasa Al-Qur’an. Pada masa-masa kelam ini, Al-Azhar tetap mampu mencetak generasi cendekiawan-cendekiawan yang mumpuni di bidang bahasa Arab, seperti Syekh Abdullah Ad-Damanhuri, dan Syekh Abdullah Asy-Syabrawi.
Bahasa Arab mulai menjadi sebuah diskursus mandiri di Al-Azhar pada tahun 1930 M, pada masa Syekh Muhammad Al-Ahmadi Adz-Dzawahiri. Sesuai dengan qanun nomor 49, terdapat beberapa fakultas yang dipelajari di Al-Azhar, dan salah satunya adalah fakultas bahasa Arab. Kemudian disesuaikan dengan qanun baru nomor 26 tahun 1936 M, Al-Azhar mulai membentuk 4 jenjang pendidikan, pada saat inilah Al-Azhar mulai memasukkan sastra Arab sebagai salah satu materi atau diskursus yang dipelajari di fakultas bahasa Arab. Di antara upaya Al-Azhar untuk menjaga eksistensi, dan urgensi bahasa dan sastra Arab adalah senantiasa menyebarkan materi-materi yang dipelajari di Al-Azhar dengan menggunakan bahasa Arab yang baik dan benar (fushâ).
Al-Azhar, sesuai yang kita amini, memiliki pengaruh dan peran penting terhadap eksistensi dan urgensi bahasa dan sastra Arab sampai sekarang. Sebagaimana yang dikatakan oleh Deputi Al-Azhar Asy-Syarif Dr. Muhammad Abdurrahman Ad-Duwaini: “Sejak awal didirikan, Al-Azhar Asy-Syarif telah menaruh perhatian besar pada bahasa Arab. Al-Azhar telah mendirikan perguruan tinggi dan prodi-prodi yang menyandang nama bahasa Arab itu sendiri, serta beberapa pusat bahasa untuk melatih kelihaiannya, dan esensi-esensi yang dimilikinya mampu menarik orang-orang asing untuk belajar di dalamnya, di antaranya: perguruan tinggi bahasa Arab di beberapa kegubernuran Mesir, prodi bahasa Arab di beberapa fakultas lain, pusat pendidikan bahasa Arab Syeikh Zayed, universitas ilmu Islam untuk ekspatriat, serta banyak aktivitas-aktivitas yang menegaskan identitas bahasa Arab itu sendiri. Al-Azhar Asy-Syarif akan tetap menjadi pemerhati dan pengasuh ilmu bahasa Arab dan hukum Islam”.
- Târîkh Al-Adab Al-‘Arabî Al-‘Asr Al-Jâhilî oleh Dr. Syauqi Ad-Daif.
- Târîkh Al-Adab Al-Hadîs, Diktat kuliah tingkat 4 Fakultas Bahasa Arab.
Editor: Izuki Muhasonah