Dalam literatur Islam, kita mengenal adanya istilah sadd adz-dzarâi’ (langkah preventif dari sesuatu yang haram). Hal demikian didasarkan pada langkah kehati-hatian agar tidak terjerumus pada lubang kemaksiatan. Konsep ini membentengi seseorang dari perbuatan buruk yang mungkin bisa saja ia atau orang lain lakukan walau tidak ada niatan dari awal. Bagaimana tidak, sedangkan manusia mempunyai hawa nafsu yang sering kali mendorong seseorang untuk melakukan sebuah kemaksiatan. Sebagaimana contoh yang diungkapkan oleh sebagian fukaha, haram hukumnya menjual anggur kepada orang yang diduga kuat akan mengolahnya menjadi minuman keras. Langkah preventif ini tentu mengambil konsep umum mencegah adanya mafsadah.
Konsep sadd adz-dzarâi’ ini tentu mengalami berbagai macam dinamika dalam proses konsepsinya. Para penganut mazhab Maliki terkenal paling santer memakai konsep sadd adz-dzarâi’. Namun, Imam Asy-Syathibi dalam Al-Muwâfaqât-nya mengungkapkan konsep antitesis dari apa yang dianut kalangan Malikiyyah lain, yaitu konsep fath adz-dzarâi’. Imam Asy-Syathibi juga mengungkapkan bahwasanya contoh penjualan anggur yang ada dugaan dibuat miras sebagai contoh yang tidak tepat untuk konsep sadd adz-dzarâi’, karena ia menilai bahwa manfaat penjualan anggur tersebut lebih nyata daripada mafsadahnya yang masih belum jelas dan nisbi.
Konsep sadd adz-dzarâi’ juga sering kali digunakan oleh kelompok-kelompok ekstrem kanan sebagai penopang kekuasaan mereka. Sebagai contoh nyata, beberapa negara Islam menerapkan larangan bagi perempuan untuk keluar rumah tanpa didampingi mahramnya. Perempuan juga dilarang mengemudi kendaraan sendiri untuk mencegah adanya kemungkinan bersinggungan dengan laki-laki ajnabi. Tidak hanya itu, perempuan juga dilarang bekerja sebagai penyiar di stasiun televisi ataupun radio, pun dilarang aktif di ranah politik. Semua larangan tersebut dirasa sangat berlebihan jika menelisik keadaan dunia yang relatif aman sekarang.
Maka dari itu, beberapa kalangan Syafi’iyyah dan Hanafiyyah mengungkapkan bahwa sadd adz-dzarâi’ bisa ditetapkan jika mafsadah yang ditimbulkan memiliki alasan yang kuat (’illah mu’akkidah), bukan hanya sebuah kemungkinan yang masih samar dan belum jelas. Imam Al-Qarafi mengungkapkan perlu adanya pembedaan antara wasilah yang memiliki tujuan baik serta memunculkan manfaat dan wasilah yang memiliki tujuan buruk serta memunculkan mafsadah. Setiap wasilah yang memiliki tujuan baik dan memunculkan manfaat, maka wajib untuk dibuka peluangnya. Sebaliknya, setiap wasilah yang memiliki tujuan buruk dan memunculkan mafsadah, maka wajib untuk ditutup peluangnya.
Imam Al-Qarafi dan Imam Asy-Syathibi, yang punya latar belakang mazhab Maliki, mencoba membuka mata bahwa selain adanya peluang mafsadah, ternyata peluang maslahat juga perlu dibuka. Tentu dalam realisasi maslahat tersebut diperlukan juga wasilah yang baik, bukan dengan menghalalkan segala cara untuk mencapai sebuah tujuan (al-ghâyah tubarriru al-wasîlah, konsep yang diusung Niccolo Machiavelli). Wallahu A’lam
Editor: Rofiqul Amin