Pergolakan antarmazhab dalam Islam sudah terjadi sejak masa awal abad kedua Hijriah. Persinggungan antarmazhab tersebut tidak hanya dalam ranah fikih saja, tetapi juga merambah ke ranah akidah. Yang paling mencolok dari pergolakan antarmazhab tersebut, dan yang paling awet sampai sekarang adalah pergolakan antara golongan Suni dan Syiah. Namun, banyak yang menganggap bahwasanya pergolakan antara keduanya hanya pergolakan politik yang bertopeng mazhab belaka. Anggapan tersebut semakin nyata dengan realitas bahwasanya perbedaan-perbedaan dalam fikih Suni dan Syiah kental akan motif politik belaka.
Motif politik tersebut merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari mahkamah, masjid, perkumpulan-perkumpulan masyarakat, dan lain-lain. Pergolakan politik antara Suni dan Syiah tersebut sampai menimbulkan pertumpahan darah. Masing-masing golongan menginginkan keberlangsungan kelompoknya sendiri dan hampir tidak menemukan kata rukun dalam hubungan mereka dengan kelompok lain. Hal tersebut bisa terjadi karena tidak adanya kesatuan tujuan untuk hidup saling berdampingan dan mengedepankan kemaslahatan bersama.
Kita kembali ke permasalahan perbedaan dalam ranah fikih. Dalam realitasnya, memang ada beberapa sekte Syiah yang menabrak perkara paten atau statis (tsawâbit) dalam Islam. Namun secara global, perbedaan antara Suni dan Syiah itu terbatas pada interpretasi-interpretasi hadis tentang hukum-hukum cabang (furû’iyyah). Oleh karena itu, hendaknya fikih dipandang lewat kacamata maqâshid yang lebih mengedepankan universalitas syariat daripada hanya bersitegang dengan detail-detail perbedaan furû’iyyah. Persatuan antarmuslim lebih berharga daripada keangkuhan-keangkuhan fanatik mazhab. Itulah titik temu yang bisa menjembatani perbedaan antarmazhab dalam Islam.
Begitu juga pergolakan yang terjadi antaragama. Nilai-nilai yang terkandung di setiap agama, seperti keadilan, kasih sayang, persatuan, akhlak, dan lain-lain merupakan dasar-dasar yang menjadi titik kesamaan antaragama tersebut. Dalam konsep al-kulliyât al-khams (hifzh ad-dîn, hifzh an-nafs, hifzh al-‘aql, hifzh an-nasl, dan hifzh al-mâl. Ada beberapa ulama yang menambahkan hifzh al-‘irdh dalam konsep ini), tergambar kemaslahatan yang besar ketika dapat terlaksana. Begitu juga dalam syariat agama-agama lain selain Islam, yang juga punya tujuan-tujuan kemaslahatan di berbagai aspek kehidupan. Dalam syariat mereka, dilarang untuk mengonsumsi minuman keras karena bisa merusak pikiran. Walaupun nanti dalam konsep Islam, pelarangannya tidak sekadar pada minuman keras. Tetapi intinya, antara Islam dengan agama-agama lain punya tujuan kemaslahatan bagi para pemeluknya.
Kacamata maqâshid atau pandangan-pandangan universal yang teratur tersebut dapat menjadi suatu fondasi tersendiri dalam upaya interaksi antaragama yang syarat akan kerukunan. Tentu kita sebagai muslim tetap meyakini Islam sebagai agama yang superior dari agama-agama lain. Namun yang juga tidak kalah penting adalah, bagaimana keberagamaan kita tidak menjadi suatu keresahan atau bahkan mafsadah bagi pemeluk agama lain, karena cara beragama kita yang kurang tepat. Wa Allâhu A’lam
Editor: Rofiqul Amin