Realisasi Tujuan Universalitas Syariat Islam

Realisasi Tujuan Universalitas Syariat Islam

Salah satu ciri syariat Islam adalah bersifat universal (‘âlamiyyah). Universalitas syariat Islam memiliki makna bahwa syariat Islam itu sesuai dan layak untuk diterapkan kapan pun dan di mana pun (shâlih li kulli zamân wa makân). Hal ini tentu berbeda sekali dengan peraturan atau perundang-undangan yang dibuat oleh manusia. Peraturan atau perundang-undangan yang dibuat manusia sangat terbatas oleh ruang dan waktu. Keterbatasan tersebut muncul karena ketidakmampuan manusia untuk menerka-nerka apa yang akan terjadi di masa depan. Lagi-lagi, manusia memanglah sebatas makhluk yang hanya mengetahui apa yang sedang mereka alami.

Syariat Islam mempunyai otoritas dan ranah yang sangat luas. Hal tersebut dapat dilihat dari hubungan antara syariat dengan adat (‘urf) yang berlaku di masyarakat. Namun, syariat Islam tidak serta merta menerima semua adat yang ada. Syariat Islam hanya mengafirmasi sesuatu yang sesuai dengan apa yang telah digariskan, hanya mengafirmasi adat istiadat manusia yang tidak keluar dari rel syariat. Banyak hukum-hukum fikih yang terpengaruh oleh adat bangsa Arab, tetapi tidak lantas legal untuk mengatakan bahwa syariat Islam merupakan produk dari budaya Arab. Yang layak diungkapkan adalah keterpengaruhan pemahaman seorang mujtahid oleh budaya-budaya lokal dalam memahami teks-teks Al-Qur’an dan hadis.

Ibnu ’Asyur dalam kitabnya Maqâshid Asy-Syarî’ah Al-Islâmiyyah menyebutkan beberapa contoh hukum fikih yang terpengaruh oleh adat bangsa Arab, di antaranya adalah kasus pengharaman menyambung rambut bagi wanita. Ibnu ’Asyur menyebutkan, bahwa hukum tersebut muncul karena dalam adat bangsa Arab, menyambung rambut bagi wanita merupakan ciri-ciri dari ketidakmampuan wanita tersebut untuk merawat dirinya sendiri, sehingga juga berimbas pada harga diri wanita yang melakukannya. Maka, menurut Ibnu ’Asyur, pelarangan tersebut tidak terbatas kepada penyambungan rambut saja, tetapi juga kepada hal-hal yang dapat merendahkan harga diri wanita, baik dengan penyambungan rambut atau hal-hal yang lain.

Ada lagi kasus penggunaan jilbab. Jilbab merupakan jenis pakaian yang digunakan untuk menutup tubuh bagian atas wanita, yang lazim dipakai oleh orang Arab. Penggunaan jilbab pada masa Islam dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban seorang wanita dalam menutup aurat. Lantas apakah daerah-daerah yang tidak menjadikan jilbab sebagai pakaian mereka, kemudian berubah menjadi wajib mengenakannya? Tentu saja tidak. Yang diwajibkan oleh syariat Islam adalah menutup aurat, baik menggunakan jilbab atau pakaian yang serupa, yang sekiranya bisa menutupi aurat yang sudah ditentukan.

Beberapa contoh di atas memberikan gambaran yang jelas tentang wajah keuniversalan Islam. Al-Qur’an dan hadis tidak lagi dibaca lewat perspektif suatu kaum saja, tetapi juga ditelaah lewat berbagai kaca mata belahan dunia. Sudah seharusnya Al-Qur’an dan hadis dibaca sesuai konteksnya, bukan hanya berhenti kepada teks yang berimpiklasi kepada sebuah kejumudan yang tidak dikehendaki oleh syariat. Wa Allâhu A’lam

Redaktur: M. Abda Rifqi
Editor: Rofiqul Amin
Lebih baru Lebih lama