Hidup Itu Absurd, Jangan Lari darinya

"Di sudut-sudut jalan mana pun, absurditas itu bisa menampar wajah siapa pun."
Albert Camus

Hidup selalu menyimpan misteri dan rahasia. Ia bagaikan seseorang berwajah banyak yang selalu berganti-ganti topeng. Mengutip salah satu kalimat dalam potongan sebuah film, “Jika ingin tahu apa itu dunia, cobalah untuk memikirkan rutinitasmu sehari-hari, pikirkan alasannya. Ketika sudah merasa pusing, itulah dunia”. Ketidakjelasan dan kesamaran inilah yang kemudian mengilhami Albert Camus (seorang filsuf abad 20) dalam menggagas aliran filsafat yang disebut Absurdisme. Yaitu, filsafat pemikiran yang menyatakan bahwa upaya-upaya manusia, mau sekeras apa pun, dalam mencari kebenaran batin yang tertinggi, terdalam, atau ultimate akan menemui jalan buntu serta kegagalan. Hal tersebut tidak lain karena keabsurdan dan ketidakjelasan yang ada pada dunia atau bahkan manusia itu sendiri. Konsep-konsep yang dirancang oleh manusia itu terlihat canggih, indah, bahkan sempurna jika dipahami. Namun ketika berhadapan dengan tamparan-tamparan realitas, selalu ada pengecualian-pengecualian.

Istilah "absurd" berasal dari bahasa Latin "absurdus" yang berarti bodoh atau tuli. Jika ditinjau dari sudut pandang agama, absurditas manusia adalah fitrah yang tidak bisa dihindarkan. Hal itu berangkat dari sebuah fakta bahwa manusia adalah makhluk yang terbatas, bagaimana makhluk yang terbatas bisa mencapai kebenaran yang tak terbatas, ultimate? Maka tak salah jika kemudian dikatakan bahwa, absurditas adalah sifat bawaan manusia. Misalnya, setiap manusia pasti ingin mencari tahu apa arti hidupnya, tetapi ketika ditanya lebih detail, "Apa yang kamu cari?" dia kebingungan menjawabnya. Apalagi kalau kemudian ditanya, "Bagaimana cara mencarinya?" atau "Apa ukurannya sehingga bisa dikatakan berhasil menemukannya?" maka dia akan lebih merasa bingung. Itulah yang kemudian disebut dengan absurd.

Contoh lain dari absurditas manusia dapat kita lihat dalam salah satu cerita mitologi Yunani. Sisyphus adalah seorang dewa yang licik. Sisyphus telah dikutuk dalam hukuman abadi dengan mendorong batu besar ke atas bukit yang curam tanpa henti, hanya untuk menggelindingkannya ke bawah setiap kali dia mendekati puncak. Begitu seterusnya, Sisyphus harus melakukannya hingga akhir zaman. Hidup kita juga kurang lebih seperti itu. Kita susah payah mendorong batu ke puncak, tetapi kemudian menggelinding kembali ke bawah. Kita dorong lagi, kemudian menggelinding lagi. Tanpa sadar, kita selalu berputar-putar di sana. Masalah zaman dulu dibawa kembali ke masa sekarang, hanya berbeda wadah dan kemasan. Patut menjadi pertanyaan, “Apakah masalah tersebut memang benar-benar muncul dengan sendirinya, ataukah kita yang ternyata selama ini tidak pernah naik kelas?”

Kebenaran-kebenaran yang dibuat dan disusun oleh manusia itu bersifat terbatas serta terikat oleh faktor-faktor lain, baik internal maupun eksternal. Tidak semua hal bisa kompatibel dengan hidup kita. Mungkin banyak hal baik yang tidak cocok dengan situasi kita hari ini. Bukan berarti ajaran itu salah, tetapi situasi kita hari ini yang masih belum memungkinkan untuk menerapkannya. Maka yang kemudian bisa kita lakukan adalah mencoba memahami realitas yang ada, lalu menerapkan langkah-langkah yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan pada saat ini, dengan tanpa memaksakan angan dan cita-cita yang benar menurut versi kita sendiri.

Ironisnya, banyak di antara kita yang sering menutup mata, bahkan mengingkari sifat dasar tersebut. Kita memegang teguh mati-matian ideologi, pandangan, aliran, atau sudut pandang; sehingga terkadang meski bukti-bukti menunjukkan bahwa perspektif kita salah, kita masih ngeyel dan ngotot dengan perspektif kita. Kita sering lupa atau bahkan sengaja melupakan bahwa dunia bukan hanya tentang cita-cita dan angan kita. Dunia berjalan sesuai rel dan versi yang telah ditetapkan oleh Tuhan.

Dunia itu absurd, serba samar, dan berkabut misteri. Dunia tidak bisa dipahami dengan hanya menggunakan satu teori saja. Ketika hari ini kita memahaminya A, besok ternyata berubah menjadi B, kemudian berubah menjadi C. Kita ngotot bahwa yang benar adalah A, ternyata kenyataannya tidaklah demikian. Celakanya, kita sering memaksakan perspektif tersebut dengan menghalalkan segala atau mungkin hanya sebagian cara ketika terjadi tabrakan antara cita-cita dan kenyataan, idealisme dan realitas.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Camus, absurditas selalu berhasil menampar wajah siapa pun. Pertarungan antara idealisme dan realitas hampir setiap hari muncul di kepala tiap orang. Idealisme dihajar habis-habisan ketika dihadapkan dengan realitas yang tak seindah harapan. Pada akhirnya, orang yang berhasil bukanlah yang menang, karena ini bukan sekadar pada menang dan kalah. Semua tergantung ketajaman hati, nurani, serta intuisi. Sekali lagi, hidup itu absurd, jangan lari darinya.

Salah satu hal yang menarik ketika membicarakan kisah Sisyphus adalah Prometheus, dewa lainnya yang juga dihukum. Hukuman Prometheus memang berbeda dengan Sisyphus, tetapi keduanya memiliki pola yang sama, absurditas. Prometheus dihukum dengan diikat di atas sebuah gunung, lalu datanglah burung pemangsa yang merobek perutnya. Ketika burung itu pergi, perut Prometheus pun utuh kembali, lalu datanglah burung itu untuk merobek perutnya lagi, begitu seterusnya. Meskipun keduanya memiliki pola yang sama, namun cara mereka menghadapinya berbeda. Prometheus merasa stres menghadapi absurditas tersebut dan meminta untuk mati saja. Sedangkan Sisyphus memilih menghadapi hukumannya dengan tersenyum bahagia. 

Ketika dihadapkan dengan hal-hal yang absurd, kita setidaknya punya dua pilihan. Pertama, menikmati keabsurdan tersebut sebagaimana Sisyphus. Atau kedua, menghindar dan lari sebagaimana Prometheus. Dunia ini bersifat absurd sebagaimana telah dijelaskan, maka lari dari keabsurdan berarti lari dari dunia, lari dari kehidupan. Satu-satunya jalan yang bisa kita lewati adalah menikmati absurditas tersebut. Mulai dari menerima segala keabsurdan, ketidakjelasan, serta kesamaran dunia ini. Tanamkan di kepala bahwa dunia memanglah serba tidak terduga dan susah dikendalikan. Setelah itu, barulah kita bisa mulai memaknai kehidupan dengan versi yang kita inginkan, tanpa harus berekspektasi bahwa makna itulah yang terbaik, tertinggi, atau ultimate. Lagi dan lagi, hidup itu absurd, jalani saja.

Referensi:
- Faiz, Fahruddin. 2022. Menghilang, Menemukan Diri Sejati. Jakarta Selatan: Penerbit Noura Books.
- Albert Camus: Eksistensialisme dan Absurditas (Kisah Sisyphus dan Prometheus). https://mengeja.id/2021/02/03/albert-camus-eksistensialisme-dan-absurditas-kisah-sisyphus-dan-prometheus/

- Mempelajari Absurdisme: Upaya Memahami Eksistensi dan Kehidupan Manusia yang Absurd. https://mjscolombo.com/mempelajari-absurdisme-upaya-memahami-eksistensi-dan-kehidupan-manusia-yang-absurd.html

Redaktur: Rofiqul Amin
Editor: M. Abda' Rifqi
Lebih baru Lebih lama