Maqâshid Asy-Syarî’ah yang Disalahpahami

Maqâshid Asy-Syarî’ah yang Disalahpahami

Hukum-hukum syariat Islam tidak selalu berbentuk statis (tsâbit), tetapi adakalanya berbentuk dinamis (mutaghayyir). Hukum syariat yang statis tergambar pada perkara-perkara yang berkaitan dengan keyakinan, dan hukum yang berasal dari dalil yang qath’i. Sedangkan hukum syariat yang dinamis tergambar pada produk hukum yang berasal dari dalil-dalil yang zhanni, dalil-dalil yang masih diperselisihkan (al-mukhtalaf fîh), atau hukum yang dihasilkan atas dasar maslahat ataupun adat. Sering kali hukum-hukum syariat digeneralisasi sebagai hukum statis, sehingga banyak hukum yang seharusnya dinamis malah dianggap sebagai statis. Konsekuensinya adalah hukum syariat yang seharusnya bisa sesuai dengan zaman maupun tempat akan menjadi tidak relevan dan terkesan jumud.

Begitu juga sebaliknya, ketika hukum syariat digeneralisasi sebagai hukum dinamis, maka kesakralan syariat akan terus terkikis dan berada dalam ancaman kepunahan. Seorang muslim yang berkeyakinan bahwa hukum syariat selalu statis akan cenderung jumud dalam bersikap (beberapa penulis ada yang menyebutnya sebagai kaum konservatif). Semua hal yang dia yakini sebagai hukum syariat tidak akan menemukan sudut pandang baru. Sehingga ketika ada sudut pandang lain yang bertabrakan dengan apa yang dia yakini, niscaya akan dia tolak mentah-mentah. Lalu bagaimana dengan orang yang menganggap hukum syariat itu selalu dinamis?

Orang yang beranggapan bahwa hukum syariat selalu dinamis akan cenderung liberal dalam bersikap. Dia berpandangan bahwa semua hukum syariat harus fleksibel sesuai dan tergantung pada waktu dan tempat. Hukum syariat yang statis akan dia tabrakkan dengan realitas sesuai dengan kebutuhan yang dia inginkan. Jika hal tersebut tidak menguntungkan baginya, niscaya akan diubah sampai dirasa cocok. Tentu hal ini akan mengancam eksistensi syariat itu sendiri. Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menyuguhkan fatalitas orang yang berpandangan bahwa semua hukum syariat itu selalu dinamis, karena penulis berpandangan bahwa orang seperti ini lebih berbahaya, karena langsung merongrong keaslian asas syariat.

Sebagai gambaran nyata dari kaum liberal di atas, terdapat aliran kebatinan yang berpendapat bahwa gerakan-gerakan salat—yang notabenenya statis—tidak wajib dilakukan, karena menurut mereka yang terpenting adalah wushûl kepada Allah SWT. Pemahaman tersebut muncul karena mereka mencoba masuk ke ranah esensi dari syariat tanpa mengindahkan ketentuan-ketentuan yang ada. Mereka merumuskan maqâshid sesuai dengan kehendak dan kebutuhan mereka sendiri, lalu maqâshid tersebut mereka nisbat-kan kepada syariat. Setidaknya ada beberapa contoh lain tentang perumusan maupun penggunaan maqâshid yang tidak tepat sasaran, sehingga mengaburkan sakralitas syariat itu sendiri, terutama yang asas dan statis.

Pertama, dalam masalah pembagian waris yang dibedakan antara laki-laki dengan perempuan. Banyak yang salah paham bahwa pembagian seperti yang sudah ada itu bisa berubah tergantung dengan situasi, kondisi, dan waktu. Selama ini, laki-laki dianggap dapat bagian lebih karena dia akan bertanggung jawab menafkahi perempuan, maka ketika situasi dan kondisinya sudah berubah, bagian antara laki-laki dengan perempuan bisa disamaratakan; karena berdalih menegakkan keadilan dan kesetaraan. Kedua, menutup aurat kepala bagi perempuan punya maksud untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri. Ketika misal di suatu daerah, perempuan bisa dikatakan menjaga kehormatan tanpa harus menutup aurat kepala, maka dia tidak perlu memakai hijab dan sejenisnya.

Ketiga, (misal) ketika seorang yang miskin mengutangi orang yang kaya, maka ia boleh memberlakukan bunga untuk pembayarannya. Hal tersebut dianggap benar karena dalih maslahat yang kembali kepada orang miskin tersebut. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa maqâshid sering kali disalahpahami dan disalahgunakan. Padahal, dalam menerapkan maqâshid itu perlu memilah antara yang statis dengan yang dinamis; antara hukum yang bersumber dari dalil qath’iy dengan yang dari dalil zhanniy. Hukum syariat yang statis dari awal akan tetap pada relnya. Bagaimana tujuan suatu syariat bisa terlaksana kalau perantaranya saja dihilangkan?!

Referensi:
Abdul Fadhil, Muhammad Al-Qushi. 2019. Nahwa Fahm Mutajaddid. Uni Emirat Arab.
Jum’ah, Ali. 2021. At-Thariq ilâ At-Turâts Al-Islâmi Muqaddimât Ma’rifiyyah wa Madâkhil Manhajiyyah. Giza, Mesir. Dar Nahdhah.

Turki, Muhammad Kattu’. 2016. Al-Wâzi’ Ad-Dîni wa Atsaruhu fî At-Tasyri’ Al-Islami. Istanbul, Turki. Dar Al-Lubab.

Redaktur: M. Abda' Rifqi
Editor: Rofiqul Amin
Lebih baru Lebih lama