Mental Illness: Antara Naruto hingga Joker

Mental Illness: Antara Naruto hingga Joker

Mental illness, yang disebut juga sebagai gangguan mental—jiwa, didefinisikan sebagai sebuah kondisi kesehatan yang memengaruhi pikiran, perasaan, sikap, suasana hati, atau gabungan di antaranya. Kondisi tersebut dapat terjadi sesekali atau berlangsung dalam waktu yang lama.

Kondisi ini sangat mungkin terjadi pada siapa pun. Bahkan menurut World Health Organization (WHO), satu dari lima anak-anak dan remaja di dunia memiliki gangguan mental. Sementara pada orang dewasa, kondisi ini memengaruhi satu dari empat orang di dunia. Dari kasus tersebut, sekitar setengahnya dimulai pada remaja di bawah usia 14 tahun. Dan ini merupakan usia rawan munculnya gangguan mental yang sering terjadi.

Orang dengan gangguan mental cenderung sering merasa putus asa, sedih, paranoid, serta delusi dan halusinasi, bahkan kasus tergelapnya bisa saja bunuh diri. Menurut publikasi WHO, hampir 1 juta orang di dunia melakukan bunuh diri setiap tahunnya.

Mental illness memiliki berbagai macam bentuk. Meski tidak secara langsung mengganggu fungsi organ tubuh, gangguan semacam ini bisa menyebabkan penderitanya tidak mampu bersikap dan bersosialisasi sebagaimana mestinya. Bahkan juga membuat penderitanya cenderung untuk menyakiti diri sendiri.

Contoh gangguan mental bisa kita lihat dari sosok Joker (Arthur Fleck) dalam filmnya dengan judul yang sama. Film garapan Todd Phillips ini berhasil membalikkan semua sentimen penonton terhadap sang raja kejahatan dari Kota Gotham yang dibawa oleh film-film sebelumnya.

Sebelum menjadi Joker, Arthur adalah wujud rakyat kecil yang dirampas sisi kemanusiaannya oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Ia digambarkan menderita penyakit pseudobulbar affect (PBA) yang membuatnya sering tertawa tanpa sebab, bahkan ketika berada dalam situasi normal. Dengan kata lain, suasana hati Arthur bisa bertolak belakang dengan ekspresi yang ditampilkan, yang kemudian menjadikannya kerap menerima perlakuan tidak baik dan kejam dari orang-orang di sekitarnya.

Tak hanya itu, Arthur bahkan dihina oleh idolanya sendiri, Murray Franklin. Dia dianggap gagal sebagai seorang stand up comedian. Murray mengundang Arthur hanya untuk dipermalukan guna mendongkrak rating acara televisinya. Arthur lantas dipecat dari pekerjaannya sebagai seorang badut. Buruknya lagi, ternyata perkara itu ulah kawan-kawannya sendiri. Arthur dikhianati oleh orang-orang yang ia anggap sebagai kawan.

Lengkap sudah penderitaan yang menimpa Arthur Fleck. Rangkaian peristiwa inilah yang akhirnya menciptakan sosok Joker dalam diri Arthur. Seorang badut yang gila, sadis, cerdik, dan yang paling mengerikan, ia tak punya motif apa pun dalam melakukan hal-hal gila kecuali karena kejahatan itu sendiri.

Rentetan tragedi itu lantas memunculkan kalimat ”Joker adalah aku” dalam pikiran banyak orang yang kemudian berkembang menjadi ”Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”. Arthur dianggap sebagai orang baik yang berkali-kali diinjak dan dicampakkan oleh dunia. Sampai pada akhirnya, ia memutuskan untuk berubah menjadi sosok Joker. Banyak orang menganggapnya sebagai sebuah pembelaan untuk setiap tindak kejahatan yang dilakukannya.

Berpikir kalau orang jahat terlahir dari orang baik yang tersakiti tentu tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Hal ini sangat mungkin terjadi. Bahkan mungkin kita mengenal beberapa kawan yang sikap serta kepribadiannya berubah secara tiba-tiba, walau tidak sampai pada tindak kejahatan.

Daripada menjadi Joker, ada pilihan untuk menjadi seperti Naruto yang tetap setia menempuh jalan cahaya walau dirundung kegelapan dunia. Dia tetap berpegang teguh pada cita-citanya untuk menjadi seorang Hokage (pemimpin desa), guna membuktikan kepada orang-orang yang mengejek, merendahkan, serta mencampakkannya.

Naruto adalah seorang anak yatim piatu sejak lahir. Kedua orang tuanya terbunuh pada saat penyerangan Kyuubi, monster rubah ekor 9, ke Desa Konoha. Ayahnya yang saat itu menjabat sebagai Hokage ke-4 mengerti bahwa Kyuubi sangat berbahaya. Mau tak mau, ia terpaksa menyegel Kyuubi ke dalam tubuh anaknya sendiri tepat setelah ia dilahirkan. Pada ujungnya, peristiwa itu menjadi penyebab Naruto kecil dikucilkan, dibenci, dicaci, bahkan kerap mendapat perlakuan buruk dari penduduk desa.

Berbeda dengan Joker. Naruto tak lantas larut dalam kesedihan hingga mengeluarkan Kyuubi untuk membasmi orang-orang Desa Konoha yang selama ini merundungnya. Naruto tetap ceria dan bersosialisasi dengan warga Desa Konoha. Tak jarang Naruto berbuat onar untuk menarik perhatian dari para warga yang selalu mengucilkannya. Dia tetap menunjukkan tekad kuatnya untuk menjadi seorang Hokage. Hingga akhirnya, ia bertemu dengan teman serta guru yang mau menerima dan memahami apa yang ia rasakan.

Namun tak berselang lama, kebahagiaan Naruto harus hilang tatkala mengetahui bahwa salah satu teman serta rivalnya, Sasuke, memutuskan untuk pergi dan mengkhianati Desa Konoha. Belum selesai membujuk rayu Sasuke agar mau kembali ke Desa Konoha, Naruto harus kehilangan sosok guru yang ia anggap sebagai keluarga, Jiraiya.

Sekali lagi, Naruto berbeda dengan Joker. Penderitaan yang datang silih berganti tak lantas membuatnya mengubah haluan dan menjadi seorang penjahat. Dia tetap memegang teguh apa yang menjadi cita-citanya selama ini, menjadi Hokage. Ia memilih untuk tetap berlaku baik meskipun orang-orang berlaku tidak baik kepadanya. Bahkan, tak jarang ia sukses menyadarkan kawan maupun lawan yang berpindah haluan kepada kegelapan sebab getir pahit kehidupan memaksa mereka.

Dari dua sosok tersebut, kita dapat belajar bahwa setiap orang selalu punya pilihan, walau seburuk dan seberat apa pun perjalanan hidup yang dilalui. Entah menjadi Joker yang berpindah haluan, atau menjadi Naruto yang tak pernah menyerah dengan harapan.

Mental illness bisa menyerang siapa pun dan di mana pun. Tak jarang orang yang selama ini terlihat bahagia, mungkin sedang menyimpan bermacam-macam luka. Sayangnya, mental illness sering dianggap sebagai sebuah keanehan bahkan dicap buruk oleh masyarakat sekitar. Itulah yang kemudian membuat penderita mental illness menjadi malu dan enggan untuk berbicara kepada orang lain hingga semakin merasa menderita. Padahal, mental illness bukanlah suatu hal yang memalukan. Ibarat penyakit fisik, seperti pilek atau panas. Mental illness adalah penyakit medis yang umum dan bisa diobati.

Redaktur: Rofiqul Amin
Editor: Gelar Washolil Autho

Lebih baru Lebih lama