Tipologi Keilmuan Islam

Tipologi Keilmuan Islam

Keilmuan Islam memiliki titik tolak berupa pertanyaan besar mengenai ketuhanan, kehidupan, dan alam raya untuk mengetahui dari mana kita berasal, apa yang sedang kita lakukan sekarang dan ke mana kita akan pergi. Pertanyaan tersebut adalah pertanyaan pertama yang harus dijawab agar bisa berpindah ke pertanyaan yang lain. Hal itu berbeda dengan keilmuan Barat yang memosisikan pertanyaan tersebut sebagai pertanyaan terakhir yang dijawab melalui penelitian ilmiah karena dianggap sebagai pertanyaan pribadi yang tidak berkaitan dengan kehidupan secara umum. Dalam epistemologi Islam, kita mengenal kata fithrah yang menjadi titik berangkat intelektual dan moral seorang manusia. Fithrah yang ada dalam diri manusia memandang manusia sebagai ciptaan yang dimuliakan, sedangkan Barat justru berupaya menjadikan manusia sebagai objek eksperimen secara mutlak tanpa batasan.

Islam sebagai ajaran yang diwariskan secara turun temurun telah terbukti secara realitas mampu mewujudkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Islam sebagai keyakinan yang muncul darinya peraturan, memandang bahwa alam raya merupakan ciptaan-Nya. Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan beribadah kepada-Nya dan melestarikan bumi seraya menurunkan syariat sebagai pedoman hidup untuk mewujudkan kedua tujuan tersebut. Manusia selaku ciptaan memiliki jasad dan ruh yang keduanya memiliki keterkaitan yang erat. Oleh karenanya Islam menjelaskan makanan, minuman, dan lingkungan yang sesuai dengan komposisi jasadnya seraya melarang segala hal yang menghilangkan daya nalar mereka seperti minuman keras.

Islam memandang bahwa manusia memiliki fithrah kebaikan sedangkan keburukan adalah hal eksternal yang masuk kepadanya. Ia dilahirkan secara proporsional dalam kepribadian maupun tubuhnya. Ibn Al-Qayyim (1292-1350 M) dalam tafsirnya menyifati manusia sebagai pemilik hati yang bercahaya yang membuatnya hampir mampu mengetahui kebenaran dengan mengandalkan akal dan fithrah-nya. Wahyu diturunkan untuk mengetahui kebenaran sehingga pada akhirnya terdapat dua cahaya dalam dirinya berupa cahaya fithrah dan wahyu.

Kebaikan yang terpatri dalam fithrah manusia meliputi terbebas dari cacat, pengakuan penghambaan pada pencipta tunggal, dasar nilai akhlak, dasar rasionalitas, dasar estetika dll. Fithrah sendiri memiliki arti penciptaan dan penyusunan Allah SWT kepada manusia yang hanya terbatas pada kebaikan. Hal tersebut terpatri dalam diri manusia dan tidak butuh pada pengajar eksternal. Walau tak bisa dipungkiri bahwa pengajar eksternal memiliki fungsi menguatkan pengetahuan kebaikan yang sudah terpatri dalam dirinya.

Berdasar pada penciptaan manusia sebagai suatu penghambaan dan pelestarian, pengajaran dari dan untuk manusia harus berada dalam koridor yang dibatasi oleh "wahyu" dan "wujud". Wahyu terdapat dua: pertama adalah Kitab Allah SWT yang ditransfer melalui jalur mutawatir kepada kita dan dianggap ibadah dengan membacanya. Kedua adalah hadis Nabi SAW melalui periwayatan yang sahih dan memiliki makna yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar syariat.

Sedangkan wujud dibagi oleh para ulama menjadi al-waqi' dan nafs al-amr. Al-Waqi' adalah segala hal yang diketahui melalui indra manusia yang tidak berubah seiring masa seperti matahari yang terbit di timur dan tenggelam di barat. Wahyu dan hukum yang muncul darinya dilandaskan pada al-waqi'. Nafs al-amr adalah hal yang tersembunyi di balik indra manusia, seperti kehidupan mikroskopis yang tidak mungkin diketahui manusia secara keseluruhan dan akan diketahui secara bertahap melalui penemuan yang selalu berkembang.

Begitu pula nilai moral dan sosial harus lebih dekat dengan al-waqi’ yang bersinggungan dengan manusia bukan dengan nafs al-amr. Pengetahuan manusia harus dibatasi dengan "wahyu" dan "wujud" karena "wahyu" membimbing kepada sistem terbaik, hal itu karena "wahyu" berasal dari Zat yang mengetahui nafs al-amr.

Beberapa kelompok Islam melakukan kesalahan ketika mereka hanya berpedoman pada wahyu secara eksplisit dan mengingkari realitas serta nafs al-amr. Mereka mengingkari revolusi bumi karena wahyu menyatakan secara gamblang mengenai berjalannya matahari. Begitu pula terdapat kelompok yang berpedoman teguh pada nafs al-amr beserta meragukan dan mengingkari wahyu ketika terjadi kontradiksi eksternal dengan wahyu. Hal itu terjadi karena mereka tidak bisa membedakan antara al-waqi' dan nafs al-amr.

Mengenai pandangan terhadap orang lain, umat Islam tidak memiliki problematik fundamental dengan orang lain. Hal tersebut berbeda dengan Jean-Paul Sartre (1905-1980 M) yang menganggap eksistensi orang lain sebagai sumber kesengsaraan dan kerisauan. Dalam pandangan Islam selaku umat yang mengamini dan mengimani Allah dan Rasul-Nya, orang lain diposisikan sebagai tempat dakwah dan bukan sumber penderitaan.

Dewasa ini, perspektif Islam memiliki kekurangan dalam hal formulasi yang fleksibel yang menerima penambahan. Terdapat perbedaan antara konsepsi yang berarti pemahaman akal terhadap sesuatu dan keyakinan yang memiliki arti keharusan akal membenarkan sesuatu tersebut. Hal yang kita butuhkan adalah pengembalian formula yang mampu sepaham dengan hasil produksi orang lian beserta tipologinya walaupun tidak mengimaninya. Pengembalian formula memiliki arti kiat untuk menyingkap tipologi Islam dengan membandingkan terhadap tipologi lian agar bisa memberikan kemanfaatan dengan tujuan diskusi yang konstruktif dengan lian.

Kesadaran terhadap tipologi yang terpatri pada diri dan tipologi orang lain membuat kita bisa menyelam dalam arus kering globalisasi dan sekularisme yang terproyeksi dalam berbagai bentuk pemikiran barat. Di sisi lain, kita harus menerapkan tipologi Islam di dalam tubuh kita sebelum menawarkan kepada ummah ad-da’wah (nonmuslim).

Tujuan mengamati turats adalah upaya penggalian terhadap makna yang mungkin bisa diformulasikan ulang dalam konteks dan format penting untuk merealisasikan misi-misi kemajuan Islam. Ketika umat Islam melahirkan banyak ilmu untuk melayani nas syariat, mereka berada pada peradaban emasnya dan peradaban tersebut menjadi roboh ketika upaya pelestarian ilmu terhenti. Mereka menganggap ibadah tak lebih dari sekedar kebiasaan, oleh karena hal itu umat kita lebih membutuhkan terhadap dakwah daripada ummah ad-da’wah itu sendiri.

Redaktur: M Hakam Baihaqi
Editor: M Abda' Rifqi
Lebih baru Lebih lama