Tuhan dan Sains: Membaca Jagad Gedhe, Keteraturan Dalam Ketidakteraturan

Tuhan dan Sains: Membaca Jagad Gedhe, Keteraturan Dalam Ketidakteraturan

God doesn't play dice with the world.”
- Albert Einstein

Dalam mitologi Yunani, Chaos atau Khaos adalah dewa awal, ia ada sebelum adanya alam raya, bahkan sebelum ruang dan waktu itu sendiri. Dari Chaos inilah, muncul dewa-dewa yang lain, seperti Gaia (dewa bumi), Eros (dewa cinta), Erebus (dewa kegelapan), dan seterunya. Pada masa itu, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini—mulai dari hujan, petir, topan, badai, dan lain-lain—dipercaya merupakan ulah dari para dewa. Namun pada era berikutnya, para filsuf mulai mencari alasan-alasan rasional dari beragam peristiwa yang terjadi. Mereka merasa bahwa alam raya ini memiliki suatu pola. Sehingga mereka menyebut alam raya ini sebagai “Cosmos atau yang teratur” sebagai lawan kata dari “Chaos atau yang tidak teratur”.

Kepercayaan itu yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh seperti Nicolaus Copernicus (1473-1543 M), Galileo Galilei (1564-1642 M), dan Johannes Kepler (1571-1630 M) yang coba merumuskan bagaimana semesta ini bekerja. Hingga pada abad ke-17 M, muncullah Isaac Newton (1642-1726 M) dengan bukunya Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica yang menjabarkan hukum gravitasi dan hukum gerak Newton, serta dianggap sebagai buku paling berpengaruh sepanjang sejarah sains. Ia menunjukkan bahwa gerak benda di bumi dan benda-benda di luar angkasa diatur oleh sekumpulan hukum alam yang sama. Dan ketika seseorang dapat mengetahui sekumpulan hukum-hukum alam tersebut secara presisi, niscaya ia akan dapat meramalkan masa depan secara tepat. Namun, keyakinan Newton tersebut runtuh seabad kemudian oleh seorang matematikawan asal Prancis, Henri Poincaré (1854-1912 M), yang mengatakan bahwa memprediksi perilaku alam semesta secara akurat itu tidak mungkin. Ia menyebut argumennya dengan istilah Chaos.

Meskipun Newton meyakini teorinya akan kestabilan alam raya namun, hukum gravitasi yang ia tawarkan hanya merumuskan gaya gravitasi untuk dua benda langit. Ketika ia memasukkan benda ketiga dalam hitungannya, perhitungannya menjadi kacau. Lalu bagaimana dengan langit yang terdapat begitu banyak elemen? Newton akhirnya menyerah dan mengatakan bahwa alam semesta dapat stabil, bukan semata karena hitungan matematika, tetapi karena ada “campur tangan” Tuhan di dalamnya.

Dari temuan Newton tersebut, para ilmuwan mulai memahami bahwa alam raya ini memiliki pola unik yang membuatnya tidak bisa diprediksi sepenuhnya, hal tersebut yang disebut dengan Chaos. Perlu ditekankan, bahwa yang dimaksud Chaos di sini bukanlah kacau atau acak, melainkan sebuah keteraturan yang sangat tinggi sehingga tidak mungkin dapat diprediksi.

Tuhan dan Sains: Membaca Jagad Gedhe, Keteraturan Dalam Ketidakteraturan

Ketika kita melemparkan sebuah bola, tentu ia akan memantul berkali-kali hingga kemudian berhenti bergerak. Hal yang sama juga terjadi ketika kita melemparkan bola tersebut pada kali kedua, ketiga, dan seterusnya. Yang membedakan adalah jalur pantulan dari bola tersebut. Jalur pantulan bola dari lemparan pertama akan berbeda dari jalur pantulan di lemparan kedua, dan seterusnya. Hal itu kemudian disebut sebagai Sensitive Dependence on Initial Conditions. Mudahnya, jalur pantulan bola akan berbeda jika dilempar dari posisi yang berbeda, sekecil apa pun perbedaannya. Lebih mudahnya lagi, perbedaan sekecil apa pun akan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Inilah karakteristik dari Chaos.

Teori inilah yang mendasari Henri Poincaré untuk membantah keyakinan Newton, bahwa alam raya ini ternyata tidak se-simple apa yang dipikirkan oleh Newton. Nahasnya, hampir seluruh atau bahkan seluruh hal yang terjadi di dunia ini memiliki karakteristik Chaos seperti bola tersebut. Salah satu hal yang dapat dilihat dengan jelas adalah cuaca.

Salah satu matematikawan dan meteorologi asal Amerika, Edward Lorenz (1917-2008 M), pernah mencoba untuk menyimulasikan cuaca melalui komputer dengan 12 parameter cuaca, dengan harapan ia dapat meramal cuaca untuk dua bulan ke depan. Setelah mendapatkan hasil dari percobaan yang pertama, ia melanjutkan ke percobaan yang kedua untuk meyakinkan pendapatnya. Namun pada simulasi yang kedua, ia kaget bukan main. Pasalnya, hasil yang diperoleh ternyata berbeda dari simulasi yang pertama. Setelah ditelusuri, ternyata ia salah memasukkan beberapa angka dibalik koma. Enam digit angka setelah koma yang seharusnya ia masukkan semua, digenapkan menjadi tiga digit. Perbedaan yang sedemikian kecil ternyata menghasilkan sesuatu yang sangat berbeda. Dan dari temuan tersebut, Edward lantas mencetuskan sebuah konsep yang ia sebut dengan The Butterfly Effect. Penamaan tersebut berasal dari pertanyaan yang ia ajukan dalam artikelnya, “Apakah kepakan sayap kupu-kupu di Brazil, bisa menyebabkan tornado di Texas?”

Penemuan Edward Lorenz dan Henri Poincaré tersebut menjadi teori baru yang disebut Chaos Theory, yang mana semakin dipelajari semakin ditemukan bahwa hampir semua fenomena yang ada di dunia ini mempunyai karakteristik Chaos. Beragam temuan para ilmuwan di atas menunjukkan bahwa masih banyak hal yang tidak terjangkau oleh akal manusia, apa yang kita pelajari selama ini hanyalah setetes air di hadapan samudra yang sangat luas.

Redaktur: Rofiqul Amin
Editor: M. Abda' Rifqi
Lebih baru Lebih lama