Hal krusial yang perlu dilakukan untuk memahami turats dengan baik dan benar adalah memahami ru’yah kulliyah (pandangan komprehensif) yang melatarbelakangi turats. Bagaimana seorang ulama dahulu dapat menghasilkan karya-karya monumental yang dikenal dengan turats? Tentu setiap ulama memiliki ru’yah tersendiri perihal fenomena, dan pandangan tersebut berbeda dari ulama lain. Sebagaimana dokter, ahli matematika, politisi; masing-masing memiliki pandangan tentang dunianya. Pandangan ini mencakup pandangan filosofis, informatif, budaya, atau objektif. Oleh karena itu, penulis menyebutkan urgensi memahami turats—selain mengetahui contoh-contoh dari ru’yah tersebut—adalah menganalisis sumber ru’yah dan memahami pengaruhnya terhadap pikiran manusia secara umum, dan pikiran ilmiah secara khusus; sehingga dapat menghasilkan turats.
Salah satu contoh dari ru’yah kulliyah adalah ketika orang Arab mengimajinasikan dunia dalam bentuk burung. Menurut mereka, bagian paruh atau kepalanya berada di timur, Cina; salah satu sayap di Syam (Suriah) dan Turki, lalu sayap yang lain berada di Yaman dan pulau-pulau sekitar hingga ke Laut Arab dan Samudra Hindia; sedangkan bagian ekor berada di Maroko dan sekitarnya sampai Samudra Atlantik. Ini adalah contoh pandangan informatif yang berpengaruh terhadap pengetahuan mereka dalam aktivitas analisis geografi dan demografi. Dalam penyebutan nama negara, mereka menyebut Suriah dengan nama Syam yang berarti syamâl (utara). Begitu pula menjuluki Yaman dengan nama tersebut mengisyaratkan pada yamîn (kanan). Demikian sesuai dengan posisi paruh burung sebagaimana yang mereka bayangkan.
Visualisasi di atas sama sekali tidak tertulis dalam buku atau kitab. Namun, hanya ada dalam pikiran dan akal manusia yang dianggap sebagai dunia dari ru’yah kulliyah, sehingga berdampak terhadap pandangan mereka mengenai segala lini kehidupan dan peradaban. Dari sini timbullah pertanyaan yang sering kali dipertanyakan, manakah dari keduanya yang dapat menciptakan lainnya? Apakah kehidupan dan peradaban yang mampu menghasilkan ru’yah? Atau justru sebaliknya? Sebenarnya, secara hakikat tidak dapat diketahui apakah kehidupan yang menjadi produsen, atau justru ru’yah? atau apakah hal ini merupakan lingkaran stagnasi yang terus berulang sebagaimana ulama Mantik mengenalnya dengan nama daur? atau bahkan ini sama halnya seperti permasalahan ayam dan telur?
Syekh Ali Jum’ah selaku penulis Ath-Tharîq ilâ At-Turâts Al-Islâmi juga menyajikan contoh bagaimana interaksi antara mentalitas turats dengan berbagai isu. Hal ini bertujuan untuk menambah pemahaman kita tentang ru’yah kulliyah dan karakteristiknya. Isu-isu tersebut mencakup permasalahan dualisme seperti isu permulaan dan akhir, eksistensi dan ketiadaan, terbatas dan tidak terbatas. Jawaban para ulama atas isu-isu di atas mengindikasikan dengan jelas bagaimana pandangan mereka terhadap suatu hal.
Misalnya ketika seseorang mengatakan, “Definisi suatu hal merupakan cabang dari penggambarannya dalam pikiran.” Klaim ini benar, namun ketika ada seseorang yang ingin mengetahui eksistensi Tuhan melalu klaim ini, maka akan meniscayakan adanya tajsîd (penjelmaan) bagi Tuhan, karena dia akan menggambarkannya di dalam pikiran. Sedangkan hal ini sebagaimana yang kita ketahui adalah akar dari paganisme. Oleh sebab itu, ulama turats dituntut untuk menyelamatkan klaim ini dari ironi dalam bertauhid.
Sehingga muncullah klaim baru: “Pembenaran atas eksistensi sesuatu adalah cabang dari penggambarannya.” Ketika kita sudah memercayai dan membenarkan eksistensi Tuhan, maka kita juga telah menggambarkannya tanpa harus menjelmakan atau menyerupakan bentuknya dalam pikiran kita. Begitu juga ketika mendengar adanya ketukan pintu, secara otomatis akal kita akan memercayai adanya orang di balik pintu—tanpa kita ketahui bagaimana rupa dan bentuknya. Hal ini berangkat dari keyakinan mereka bahwasanya eksistensi tidak hanya menunjukkan terhadap sesuatu yang ada, namun juga menjadi indikator terhadap wujud Dzat Yang Mengadakan.
Tak hanya harus paham tentang ru’yah kulliyah, kita juga harus memahami ’anâshir takwîn al-‘aqli (unsur-unsur pembentukan mentalitas). Mengapa? Karena unsur-unsur tersebut juga menjadi latar belakang penulisan literatur turats. Tujuannya adalah untuk mengamati dan mengetahui unsur-unsur sistematis dalam mentalitas turats secara langsung tanpa perlu meneliti secara mendalam terkait permasalahan parsial di dalamnya. Namun sedihnya, hal tersebut tidak dimuat dalam turats dan hanya tersimpan dalam pikiran para ulama. Kendati demikian, banyak permasalahan parsial dalam turats yang sampai detik ini masih ramai diperbincangkan. Problematika parsial tersebut hadir kembali dengan wajah, bahasa, dan gagasan baru; seakan-akan hal itu juga merupakan isu yang baru. Padahal kenyataannya tidak demikian! Seperti isu khalq al-qur’an (kemakhlukan Al-Qur’an) yang senantiasa muncul dari zaman ke zaman dengan bahasa dan gagasan yang diperbaharui.
Dari sini muncullah pertanyaan, “Dari mana ulama turats mendapatkan jawaban berbagai macam isu yang telah disebutkan?” Semua itu tidak melenceng dari term mashâdir al-ma’rifah (sumber-sumber pengetahuan), atau disebut juga dengan epistemologi. Perlu diketahui, epistemologi ini berbeda dengan epistemologi Barat. Sedangkan epistemologi yang kita perlukan adalah wahyu (ilham) dan wujud (eksistensi). Dua epistemologi itu berhasil membangun persepsi tersendiri; bahwa apa pun yang dikemukakan oleh ulama turats, baik topik, isu, jawaban, bahkan sanggahan terhadap satu klaim tidak akan lepas dari dua hal tersebut. Ketergantungan itu mengakibatkan potensi mereka untuk menghasilkan berbagai hukum.
Dari epistemologi yang telah disebut, adakalanya suatu hukum berasal dari naql (wahyu), akal, adat, indra, bahkan terkadang dari fitrah. Setiap sumber tersebut kecuali naql dan syariat dikenal dengan epistemologi wujud . Sedangkan naql dan syariat disebut dengan wahyu. Maka, hukum salat itu wajib adalah hukum yang berasal dari syariat, sedangkan api dapat membakar adalah hukum adat (kebiasaan) atau hukum indra. Begitu pula hukum-hukum lainnya.
Kesimpulannya, untuk memahami turats Islam, kita perlu mengetahui berbagai macam hal, salah satunya adalah memahami komponen pembentuk mentalitas turats terlebih dahulu. Pada fase ini dibutuhkan kerja keras yang teguh dan tekun. Kemudian dilanjutkan dengan fase di mana kita dapat mengambil manfaat dari pengamatan dan penelitian, lalu menciptakan abstraksi dan melakukan aktivasi. Setelah itu, kita dapat mengamati realitas yang terjadi dan menghubungkannya dengan nas syariat, sehingga kita dapat mengimplementasikan nilai-nilainya dengan intens.
Editor: Syafil Umam