Menara Masjid Jami' Pondok Pesantren Bahrul 'Ulum |
Pondok Pesantren Bahrul Ulum terletak di Dusun Tambakberas, Desa Tambakrejo, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jombang, Propinsi Jawa Timur, tepatnya ± 3 km sebelah utara Kota Jombang. Pondok Pesantren Bahrul Ulum secara keseluruhan menempati areal tanah ± 10 ha, dengan sosiokultur religious agraris.
PERIODE RINTISAN PERTAMA
Sekitar tahun 1825 di sebuah desa yang jauh dengan keramaian, tepatnya di sebelah utara Kota Jombang, di Dusun Gedang, Kelurahan Tambakrejo, datanglah seorang alim, pendekar ulama atau ulama pendekar, bernama Abdussalam. Namun, beliau lebih dikenal dengan panggilan Mbah Shoichah (bentakan yang membuat orang gemetar). Kedatangannya di dusun ini membawa misi untuk menyebarkan agama dan ilmu yang dimilikinya. Menurut silsilah, beliau termasuk keturunan Raja Brawijaya (kerajaan Majapahit) dan merupakan salah seorang pengikut Pangeran Diponegoro. Abdussalam adalah putra Abdul Jabbar (Mbah Jabbar) putra Abdul Halim (Pangeran Benowo) putra Abdurrohman (Jaka Tingkir).
Sebelum kedatangan Abdussalam, desa ini masih merupakan hutan belantara yang tidak dihuni. Selama kurang lebih 13 tahun, beliau bergelut dengan semak belukar dan kemudian menjadikan desa ini sebagai perkampungan yang dihuni oleh komunitas manusia. Setelah berhasil merubah hutan menjadi perkampungan, beliau mulai membuat gubuk sebagai tempat beliau berdakwah yaitu sebuah pesantren kecil yang terdiri dari sebuah langgar, bilik kecil untuk santri, dan tempat tinggal yang sederhana. Pondok pesantren tersebut dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Pondok Selawe dikarenakan jumlah santri yang berjumlah 25 orang. Disebut juga dengan Pondok Telu karena bidang atau materi keilmuan yang dikaji meliputi tiga ilmu yaitu syariat, hakikat, dan kanuragan. Dari sisi lain, dinamakan Pondok Telu karena jumlah bangunannya terdiri dari 3 lokal. Hal ini terjadi pada tahun 1838 M. Kondisi tersebut adalah cikal bakal Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
PERIODE RINTISAN KEDUA
Setelah Kiai Shoichah (Abdussalam) berusia lanjut (sepuh: bahasa Jawa), tampuk pimpinan Pondok Selawe atau Pondok Telu diserahkan kepada dua menantunya yang tidak lain adalah santrinya sendiri yaitu Kiai Utsman dan Kiai Sa’id. Pada tahap selanjutnya atas restu dari Mbah Shoichah, keduanya melakukan pengembangan terhadap pondok pesantren. Jika Mbah Utsman lebih menitikberatkan pesantrennya dalam ritual tarekat di timur Sungai Tambakberas, maka Mbah Sa’id lebih fokus pada pengembangan pesantren dengan kajian-kajian yang bersifat syariat. Karena itu, pondok pesantren Mbah Sa'id yang berada di sebelah barat Sungai Tambakberas ini dikenal dengan sebutan Pondok Syariat. Dan pondok yang dikembangkan oleh Mbah Utsman dinamakan Pondok Tarekat.
PERIODE PENGEMBANGAN PERTAMA
Setelah Kiai Utsman dan Kiai Sa’id wafat, tampuk pimpinan pesantren diteruskan oleh Kiai Hasbullah, putra Kiai Sa’id. Sedangkan pesantren Kiai Utsman tidak ada yang meneruskan karena beliau tidak mempunyai putra laki-laki. Akhirnya sebagian santri Kiai Utsman diboyong oleh menantunya yang bernama Kiai Asy’ari ke Desa Keras, yang akhirnya berkembang menjadi Pondok Pesantren Tebuireng sekarang. Sebagian yang lain diboyong ke pesantren sebelah barat sungai, dijadikan satu di bawah pimpinan Kiai Hasbullah. Adapun untuk pusat jamaah tarekat akhirnya dipindah ke Desa Kapas dan diteruskan oleh menantunya yang bernama Abdullah.
Kiai Hasbulloh adalah seorang yang kaya raya dan dermawan. Beliau memiliki tanah pertanian yang sangat luas. Dari hasil pertanian ini, beliau banyak memiliki gudang-gudang beras yang menyebar dimana-mana bagaikan tambak. Konon karena hal itu, daerah ini disebut Dusun Tambakberas dan pondok pesantren beliau dikenal dengan sebutan Pondok Tambakberas.
Dibawah pimpinan Kiai Hasbullah, pondok pesantren berkembang sangat pesat. Guna kelanjutan pondok pesantren yang diasuhnya, Kiai Hasbullah mengirimkan putra-putranya untuk belajar di pesantren, bahkan hingga ke Makkah untuk menuntut ilmu.
PERIODE PENGEMBANGAN KEDUA (1914)
Pada tahun 1914, Kiai Abdul Wahab (putra tertua Kiai Hasbullah) kembali dari tugas belajarnya di Tanah Suci Makkah. Sejak saat itu, Kiai Abdul Wahab mulai melakukan pembaharuan Pondok Pesantren Tambakberas. Sistem pendidikan yang tadinya berbentuk halakah kemudian diubah menjadi sistem pendidikan madrasah yang penanganannya diserahkan kepada salah satu adiknya yaitu Kiai Abdurrahim. Dengan sistem pendidikan madrasah yang dikembangkan, Pondok Pesantren Tambakberas berkembang semakin pesat. Hingga pada tahun 1915, Kiai Abdul Wahab mendirikan madrasah yang pertama (terletak di sebelah barat masjid, sekarang dibangun Gedung Yayasan PPBU). Madrasah tersebut diberi nama Madrasah Mubdil Fan.
Pada tahun 1920, Kyai Hasbullah wafat. Pesantren ini kemudian dilanjutkan oleh Kiai Abdul Wahab dengan dibantu oleh kedua adiknya yaitu Kiai Abdul Hamid dan Kyai Abdurrahim yang juga baru kembali dari studinya di Tanah Suci Makkah. Dalam penataan manajemen pengelolaannya, Kiai Abdul Hamid lebih berkonsentrasi terhadap pengelolaan pondok, sedangkan Kiai Abdurrahim bertanggung jawab mengelola madrasah.
Kiai Abdul Wahab banyak berkiprah di kancah organisasi sosial kemasyarakatan. Salah satu organisasi yang didirikannya adalah kelompok diskusi yang diberi nama Tashwirul Afkar yang berpusat di Surabaya pada waktu itu. Dan pada tahun 1926, beliau mendirikan organisasi yang diberi nama Nahdlatul Wathan yang pada akhirnya berganti nama menjadi Nahdlatul Ulama' dan berkembang sampai sekarang. Pada tahun 1942, Kiai Wahab mendirikan pondok pesantren putri yang pertama, Al-Lathifiyyah, atas perintah Nyai Lathifah, istri Kiai Hasbullah.
PERIODE PENGEMBANGAN KETIGA
Pada tahun 1942, Kiai Abdul Hamid dan Kiai Abdurrahim memanggil keponakannya yang bernama Kiai Abdul Fattah menantu Kiai Bisri Syansuri, Denanyar, sebagai upaya regenerasi pengelolaan madrasah. Pada tahun 1943, Kiai Abdurrahim wafat. Tugas-tugas beliau diteruskan oleh Kiai Abdul Fattah. Mengingat jumlah santri semakin bertambah banyak, Kiai Abdul Fattah mendirikan gedung madrasah di dekat rumahnya yang kelak oleh Kiai Abdul Wahab diberi nama Madrasah Ibtida’iyyah Islamiyyah (MII) dan kemudian berganti nama menjadi Madrasah Ibtida’iyyah (MI). Pada tahun 1944/1945, lahirlah madrasah putri pertama yang diprakarsai oleh Ny. H.R. Mas Wardiyah (istri Kiai Abdurrahim), yang didampingi oleh Ny. Hasbiyah (putri Kiai Aqib Gedang), dan Ny. Masyhuda binti Kiai Nur.
Pada tahun 1951, Kiai Abdul Fattah, dengan restu para sesepuh, mendirikan Pondok Pesantren Putri Al-Fathimiyyah. Kemudian pada tahun 1956, beliau mendirikan Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 4 Tahun. Namun pada tanggal 6 Juni 1956, Kiai Abdul Hamid wafat. Maka pengelolaan Pondok Pesantren Tambakberas dilanjutkan oleh Kiai Abdul Fattah, sedangkan pengelolaan madrasah diserahkan kepada Kiai Achmad Alfatich, putra sulung Kiai Abdurrahim. Di bawah pimpinan Kiai Abdul Fattah, Madrasah berkembang dengan pesat. Sehingga pada tahun 1964, Madrasah Mu’allimin Mu’allimat 4 Tahun ditambah masa studinya menjadi 6 tahun dan berubah nama menjadi Madrasah Mu’allimin Mu’allimat Atas. Sedangkan untuk teknis monitoringnya diserahkan kepada Kiai Alfatich sekaligus sebagai direkturnya.
Pada tahun 1965, Kiai Abdul Wahab memberi nama pondok pesantren ini dengan nama Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Pada tanggal 29 Desember 1971 / 11 Zulkaidah 1391, Kiai Abdul Wahab pulang ke rahmatullah. Kepengasuhan pondok pesantren Bahrul Ulum diteruskan oleh Kiai Abdul Fattah dengan dibantu oleh zuriah bani Hasbullah yang lain.
Pada tahun 1974, Kiai Abdul Fattah mulai merintis perguruan tinggi yang diberi nama Al-Ma’had Al-Aly. Setelah Kiai Abdul Fattah wafat pada tahun 1977, tampuk kepengasuhan pondok pesantren Bahrul Ulum dilanjutkan oleh KH. M. Najib Abd. Wahab, LML, putra ketiga Kiai Abdul Wahab. KH. M. Najib Abd. Wahab, LML memiliki reputasi cemerlang dalam membawa lembaga Pondok Pesantren Bahrul Ulum pada pentas nasional. Selain pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PBNU. Pada tahun 1985, beliau bersama pengasuh yang lain juga menghidupkan Al-Ma’had Al-Aly menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) dengan menunjuk Drs. KH. Moh. Syamsul Huda, S.H., M.H.I. sebagai ketua. Dalam kapasitas sebagai Ketua Robithotul Ma’ahid (Asosiasi Pondok Pesantren Nahdlatul Ulama), KH. M. Najib Abd. Wahab, LML menyelenggarakan Usbu’ul Ma’ahid (Pekan Pesantren Se-Jawa). Salah satu hasilnya adalah lahirnya Kompilasi Hukum Islam, yang kemudian dijadikan pedoman hakim agama Islam di Indonesia.
KH. M. Najib Abd. Wahab, LML menata manajemen pondok putra dengan menyusun struktur kepengurusan. Sejak saat itu, muncul istilah Rais Khos (ketua komplek). Beliau juga mengamanatkan kepengurusan masjid kepada KH. Moh. Sholeh Abd. Hamid sebagai ketua takmirnya, dan menyelenggarakan pengajian sentral tiap Senin malam di masjid. Pada 20 November 1987, KH. M. Najib Abd. Wahab, LML pulang ke rahmatullah. Sepeninggal beliau, Pondok Pesantren Bahrul Ulum diasuh dengan menggunakan sistem kepengasuhan kolektif.
PERIODE PENGEMBANGAN KE-4 (KEPENGASUHAN KOLEKTIF)
Seiring dengan perkembangan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang semakin pesat dari tahun ke tahun, baik jumlah santri maupun lembaga-lembaga pendidikan formal dan nonformal yang ada di dalamnya, maka untuk memaksimalkan potensi yang sudah ada diperlukan suatu manajemen kepengasuhan pondok pesantren yang konstruktif, jelas, terprogram, dan terarah. Berangkat dari ide dasar itulah, maka kemudian lahir pemikiran untuk membagi manajemen kepengasuhan pondok pesantren menjadi;
- Majelis Pengasuh, yang berfungsi sebagai lembaga legislatif yang memiliki otoritas atau pemegang kebijakan tertinggi.
- Pengurus Yayasan, yang berfungsi sebagai eksekutif yang menjalankan semua program pengembangan dan pemberdayaan pendidikan semua lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum.
- Dewan Pengawas, yang berfungsi sebagai yudikatif, yaitu mengawasi, memberikan pertimbangan kepada Pengurus Yayasan, dan memberikan masukan kepada Majelis Pengasuh. Dibentuknya dewan pengawas dalam struktur manajemen Pondok Pesantren Bahrul Ulum sejak tahun 2006. Hal ini sebagai konsekuensi diberlakukannya Undang-Undang RI No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Hingga saat ini, sejak kepemimpinan kolektif ini diterapkan, sudah mengalami dua/tiga periode kepemimpinan Majelis Pengasuh.